“KLASIFIKASI MORFEM”
1.
Klasifikasi Morfem
Abdul Chaer (2008:16) menjelaskan
bahwa di dalam kajian ilmu morfologi, morfem dibedakan menjadi beberapa
kriteria tertentu, seperti kriteria kebebasan, kebebasan keutuhan, kebebasan
makna dan sebagainya. Pemaparan klasifikasi morfem menurut Abdul Chaer
(2008:16) sebagai berikut :
a) Morfem
bebas dan morfem tak bebas (terikat)
Morfem
bebas dan morfem tak bebas atau terikat ini digolongkan berdasarkan
kebebasannya yang keduanya dapat langsung digunakan di dalam pertuturan. Morfem
bebas dalam Abdul Chaer (2008:17) adalah suatu morfem yang bebas atau tanpa
memiliki keterkaitan atau hubungan dengan morfem lainnya, yang dapat langsung
digunakan di dalam suatu pertuturan. Biasanya merupakan morfem dasar seperti
morfem {pulang}, {merah} dan {pergi}. Hal ini sejalan dengan pendapat Santoso (2004), morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri
dan mempunyai arti tanpa harus dihubungkan dengan morfem lain. Contoh-contoh di atas dikatakan morfem karena
merupakan bentuk terkecil yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti.
Apabila bentuk itu kita pecah lagi, sehingga menjadi bu- ku, me- ja, pen- sil,
ru- mah, dan seterusnya, maka bentuk bu- dan bentuk ku tidak mempunyai arti.
Dengan demikian bentuk buku, meja, pensil dan rumah tidak dapat dipecah lagi.
Bentuk yang demikian itilah yang disebut morfem bebas sehingga
morfem-morfem itu dapat digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya
dengan morfem lain. (Santoso, 2004; Chaer, 2012: 146-166).
Sedangkan
morfem tak bebas atau yang biasa disebut dengan
morfem terikat menurut Abdul Chaer (2008:17) adalah suatu morfem yang
harus terlebih dahulu bergabung atau terikat dengan morfem lain untuk dapat
digunakan dalam pertuturan. Termasuk di dalamnya adalah semua afiks dalam
bahasa Indonesia. Di samping itu banyak juga morfem terikat yang berupa morfem
dasar seperti morfem {henti}, {juang} dan {geletak}. Kemudian untuk dapat digunakan morfem-morfem tersebut
haruslah terlbih dahulu diberi afiks atau digabung dengan morfem lainnya,
contohnya pada morfem {juang} digabung dengan afiks menjadi berjuang, pejuang dan daya
juang;henti harus digabung dengan afiks sehingga menjadi berhenti, perhentian
dan menghentikan; serta geletak harus diberi imbuhan terlebih dahulu sehingga
menjadi tergeletak dan menggeletak. Hal ini sejalah dengan pendapat Menurut Samsuri (1994), morfem
terikat tidak pernah di dalam bahasa yang wajar diucapkan tersendiri.
Morfem-morfem ini, selain contoh yang telah diuraikan pada bagian awal,
umpanya: ter-, per-, -i, -an. Makna morfem
terikat baru jelas setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem yang lain.
Semua imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran)
tergolong sebagai morfem terikat. Selain itu, unsur-unsur kecil seperti
partikel –ku, -lah, -kah, dan bentuk lain yang tidak dapat berdiri
sendiri, juga tergolong sebagai morfem terikat.
Kedua morfem di
atas yaitu morfem bebas dan morfem terikat jika dibagankan akan menjadi





afiks
Morfem
terikat dalam bahasa Indonesia menurut Santoso (2004) ada dua macam, yakni
morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis.
1) Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah
morfem dasar, adalah sebagai berikut :
a. Prefiks atau
Awalan
Awalan
(prefiks) adalah imbuhan yang dilekatkan di depan dasar (mungkin kata dasar,
mungkin pula kata jadian) (Arifin dan Junaiyah, 2008: 6). Di dalam bahasa
Indonesia terdapat awalan, yaitu ber, me, ter, se, di, per, pe, ke, dan
lain-lain. Contoh :
bersegi,
persegi, bertinj, petinju
menggali,
penggali, meninju, petinju
dilipat,
ditiru, dilihat, tertawa
sedesa,
setempat
b. Infiks atau
Sisipan
Sisipan adalah
imbuhan yang dilekatkan di tengah dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:6). Bahasa
Indonesia memiliki empat buah sisipan, yaitu -el, -em, -er, dan –in seperti
getar
geletar
kelut kemelut
getar
gemetar
kerja kinerja
gigi
gerigi
c. Sufiks atau
Akhiran
Akhiran adalah
imbuhan yang dilekatkan pada akhir dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:6). Bahasa
Indonesia memiliki akhiran - i, -an, -kan, -nya. Karena adanya kontak dengan
bahasa-bahasa lain, kini bahasa Indonesia juga memiliki afiks-afiks yang
berasal dari bahasa asing: -wan, -wati, -at, -isme, -(is)asi, -logi, dan –tas. Contoh
:
ambil
ambili,
ambilkan, ambilan
d. Konfiks
Konfiks, lazim
juga disebut imbuhan terbelah, adalah imbuhan yang dilekatkan sekaligus pada
awal dan akhir dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:7). Konfiks harus diletakkan
sekaligus pada dasar (harus mengapit dasar) karena konfiks merupakan imbuhan
tunggal, yang tentu saja memiliki satu kesatuan bentuk dan satu kesatuan makna,
seperti
¾
Konfiks ke-....-an pada keahlian, keutamaan, kegelisahan
¾
Konfiks pe-....-an, pada pengalaman, penataran penemuan
¾
Konfiks se-.....-nya pada seadanya, sebaiknya, sewajarnya
¾
Konfiks per-....-an pada perjuangan, pergaulan, pertemuan
¾
Konfiks per-....-kan pada pergolakkan, permalukan,
permudahkan
¾
Konfiks diper-....-i pada diperbarui, diawali, dinaiki
¾
Konfiks ber-....-an pada berhamburan, berciuman,
berpelukan.
¾
Morfem terikat apabila ditinjau dari
asal usulnya, maka dapat dibedakan menjadi:
·
Morfem terikat asli bahasa Indonesia ; lihat contoh-contoh
di atas.
·
Morfem terikat dari bahasa asing, misalnya ;
-
Bahasa
Jawa
: tuna, tata, daya, wawan, pramu, sarwa.
-
Bahasa Sansekerta
: pra, swa, maha, pri, wan, man, wati
-
Bahasa
Barat
: is, istis, isme, isasi, if, or, om, us, re, de, di, en, ab, in, eks, mon.
-
Bahasa
Arab
: i, wi, ani, ni, iah, at, mun, mat.
2) Morfem terikat sintaksis adalah morfem dasar yang tidak mampu
berdiri sendiri sebagai kata. Perhatikan contoh berikut: Anak yang pintar dan
sabar itu membaca buku. Dari deretan morfem yang menjadi unsur kata dalam
kalimat di atas, jika diklasifikasikan berdasarkan morfemnya adalah:
anak, pintar, sabar, baca, buku, adalah morfem bebas. Mem- adalah morfem
terikat morfologis. Sedangkan morfem yang, serta morfem
dan dalam kalimat di atas belum dapat berdiri sendiri sebagai kata karena
tidak mengandung makna tersendiri. Gejala inilah yang tergolong morfem terikat
sintaksis (Santoso, 2004).
Berkenaan dengan morfem terikat ini
dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan menurut Abdul Chaer (2008:17) antara
lain :
1
Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga
termasuk morfem terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks,
tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses
morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Bentuk-bentuk seperti
ini lazim disebut bentuk prakategorial.
2
Sehubungan istilah prakategorial di atas, menurut konsep
Verhaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk
bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal”
kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan sesudah mengalami proses
morfologi.
3
Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua
renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang
hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena
hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut
juga morfem unik.
4
Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti
ke, dari, pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas,
tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
5
Klitikan merupakan morfem yang agak sukar ditentukan
statusnya, apakah terikat atau bebas. Klitikan adalah bentuk-bentuk
singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan,
kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat
dipisahkan. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan
enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di
muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil.
Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang
dilekati, seperti lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan
nasibku.
b) Morfem utuh dan
morfem terbagi
Morfem Utuh, yaitu morfem yang merupakan satu
kesatuan yang utuh dan unsur-unsurnya bersambungan secara langsung. Dalam bukunya
Abdul Chaer (2008:18) menyebutkan bahwa semua morfem dasar, baik bebas maupun
terikat, serta prefiks, infiks dan sufiks termasuk morfem utuh. Misalnya, meja,
tidur, pergi dan sebagainya.
Morfem Terbagi, yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau
terbagi. Atau dalam kata lain morfem yang fisiknya terbagi atau disisipi morfem
lain. Misalnya,
pada kata satuan (satu) merupakan morfem utuh dan (ke-/-an) adalah
morfem terbagi. Semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terbagi.
Dalam bukunya
Abdul Chaer (2008:19) menyebutkan bahwa sehubungan dengan morfem terbagi,
untuk bahasa Indonesia ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu :
·
Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an},
{ber-/-an}, {per-/-an}, dan {pe-/-an} adalah termasuk morfem terbagi. Namun
bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks pada bermunculan ’banyak yang
tiba-tiba muncul’, dan bermusuhan ’saling memusuhi’, tetapi bisa juga bukan
konfiks, seperti pada beraturan ’mempunyai aturan’ dan berpakaian ’mengenakan
pakaian’. Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan, harus
diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya.
·
Kedua, dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks,
yakni afiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, infiks {-er-}
pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pada kata
gemetar. Memang dalam bahasa Indonesia infiks ini tidak produktif, tetapi dalam
bahasa Sunda morfem infiks ini sangat produktif, artinya bisa dikenakan pada
kata apa saja.
c) Morfem Segmental dan Morfem Supra
Segmental
Morfem segmental adalah morfem yang
terjadi dari fonem atau susunan fonem segmental. Atau bisa juga disebut morfem yang dibentuk oleh
fonem-fonem segmental seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi
semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sebagai contoh,
morfem {rumah}, dapat dianalisis ke dalam segmen-segmen yang berupa
fonem [r,u,m,a,h]. Fonem-fonem itu tergolong ke dalam fonem segmental. oleh
karena itu, morfem {rumah} tergolong ke dalam jenis morfem segmental.
Morfem supra segmental adalah
morfem yang terjadi dari fonem suprasegmental. Misal, jeda dalam bahasa
Indonesia.Atau istilah lain morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmenntal
seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di
Kongo Utara di benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan petunjuk kala
(tense) yang berupa nada. Contoh:
1. bapak
wartawan
bapak//wartawan
2. ibu
guru
ibu//guru
d)
Morfem Beralomorf Zero/Nol
Dalam
linguistik deskriptif, ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau nol
(lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud
bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa
”kekosongan”. Morfem beralomorf zero merupakan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris dan tidak berlaku pada Bahasa
Indonesia Contohnya adalah bentuk sheep, baik bentuk tunggal maupun
jamak, kata Sheep akan tetap menjadi sheep dan tidak mengalami
perubahan. Dalam bentuk tunggal dapat ditulis {sheep}, sedangkan dalam
bentuk jamak menjadi ({sheep}+{Ø}).
-
Bentuk tunggal : I have a book ; I have a sheep
-
Bentuk jamak : I have two books ; I have two sheep
-
Kata kini : They call me; They hit me
-
Kata lampau : They called me ; They hit me
Bentuk tunggal untuk book adalah books dan bentuk jamaknya adalah books;
bentuk tunggal untuksheep adalah sheep dan bentuk
jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak untuk books terdiri
dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan morfem {-s}, maka dipastikan
bentuk jamak untuk sheep adalah morfem {sheep} dan morfem
{Ø}. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa {Ø} merupakan salah satu alomorf dari
morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.
e)
Morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikal
Morfem Bermakna Leksikal dalam Abdul
Chaer (2008:20) yaitu morfem yang memiliki makna pada dirinya sendiri secara inheren,
tanpa
perlu berproses dengan morfem lain. Morfem bermakna leksikal jumlahnya tidak
terbatas dan sangat produktif. Misalnya,
morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan sebagainya adalah morfem
bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah dapat digunakan secara bebas
dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam pertuturan. Atau bisa disebut juga satuan dasar bagi terbentuknya kata.
morfem yang bermakna leksikal itu merupakan leksem, yakni bahan dasar yang setelah mengalami pengolahan
gramatikal menjadi kata ke dalam subsistem gramatika. Contoh: morfem {sekolah}.
berarti ‘tempat belajar’.
Abdul Caher (2008:20) Morfem Tak
Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai makna apapun pada dirinya
sendiri, sebelum
bergabung dengan morfem lainnya dalam proses morfologis. Atau bisa juga
disebut morfem
imbuhan Misalnya, morfem-morfem afiks (ber-), (me-), (se-), (ter-), morfem-morfem tersebut baru
bermakna jika berada dalam pemakaian. Contoh:. Contoh: {bersepatu} berarti ‘memakai
sepatu’.
3.
Morfem Dasar, Dasar, Pangkal, dan Akar
Dalam bukunya
Abdul Chaer (2008:21) menjelaskan bahwa istilah morfem dasar biasanya digunakan
sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk-bentuk seperti {beli}, {juang} dan {kucing} merupakan morfem dasar. Morfem dasar
ini ada yang termasuk morfem bebas seperti {beli}, {kucing} dan {pulang}; tetapi ada juga yang termasuk ke
dalam morfem terikat, seperti {juang}, {henti} dan {tempur}. Sedangkan morfem afiks seperti {ber-}, {di-} dan {an} jelas semuanya termsuk ke dalam morfem
terikat. Jika dibagankan seperti berikut




Sebuah
morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu
proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi,
bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem
lain dalam suatu proses morfologi.
Istilah pangkal (stem) dalam Abdul Chaer (2008:22) digunakan untuk menyebut bentuk
dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks infleksi. Hal ini
biasanya terjadi pada bahasa-bahasa fleksi seperti bahasa arab, bahasa itali,
bahasa jerman dan bahasa perancis. Kemudian dalam bahasa Indonesia sendiri
proses pembentukan kata inflektif hanya terjadi pada proses pembentukan verba
transitif, yang meliputi verba berprefiks me- (yang dapat diganti denan di-,
prefiks ter- dan prefiks zero), contohnya pada kata membeli pangkalnya adalah
beli.
Abdul Chaer (2008:16) menjelaskan
bahwa istilah akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat
dianalisis lebih jauh lagi. Artinya bahwa akar adalah suatu bentuk yang tersisa
setelah semua afiksnya ditanggalkan. Misalnya pada kata memberlakukan setelah semua afiksnya ditanggallkan (yaitu prefiks
me-, prefiks ber, dan sufiks –kan) dengan cara tertentu, maka yang tersisa akar
laku. Akar laku ini tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi tanpa merusak makna
akar tersebut.
Terima kasih banyak informasi, sangat membantu saya. www.tweetilmu.web.id
BalasHapus