Selasa, 22 Mei 2018

PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR DAN INFEREKSI DIEKSIS



Resum Wacana Bahasa Indonesia
PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR DAN INFEREKSI DIEKSIS
   Oleh : Ratna Agustin
A.      Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional, piranti kohesi dan koherensi. Kali ini kita membahasa mengenai praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis.
Suatu wacana juga dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya. Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bial di dalamnya terdapat hubungan emosional antar bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.
B.     PRAANGGAPAN (PRESUEPPOSITION)
            Praanggapan memegang penting dalam menetapkan keruntutan (Koherensi) di sebuah wacana. Menurut Filmore (1981) Dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang implisit dan eksplisit, ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah. Bukan hanya dilihat dari segi cara pengucapan peristiwa yang salah deskripsinya, tetapi juga cara membuat praanggapan yang salah. Peraanggapan yang tepat dapat mempertinggi ilmu komunikatif sebuah ujaran yang digunakan. Semakin tepat praanggapan yang dipotensikan maka semakin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran.
            Menurut Chaika (1982:76), dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan. Chaika mengacu pada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit, Contoh:
a.       Ayah saya datang dari Surabaya.
Keterangan Praanggapan: 1. Saya mempunyai ayah; 2. Ayah ada di Surabaya.
Oleh karena itu fungsi praangapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap respon penafsiaran suatu ujaran.

            Menurut Leech (1981:288), praangapan haruslah dianggap sebagai mendasar kelancaran wacana yang komunikatif. Apabila dua orang sedang terlibat dalam suatu percakapan, mereka saling mengisi tentang berbagai macam pengetahuan terhdap situasi saat itu, saat percakapan berlanjut, konteksnya berlanjut, maka unsur-unsur semakin bertambah. Contoh dua praangapan yang mendasari berbeda:

a.       Apakah si Boncel masih pemabuk?
b.      Si Boncel masih meneruskan kebiasaan sebagai seorang pemabuk.

Keterangan conth: a. mengandung praanggapan bahwa si Boncel biasannya mabuk pada waktu lampau. Berbeda dengan contoh b. mengandung praanggapan Si Boncel biasa mabuk pada waktu lampau dan Si Boncel adalah orangg yang pemabuk pada masa kini.

Dalam penafsiaran kalimat-kalimat yang tidak berterima, praanggapan sangat berguna meski pun kaliat tesrsebut benar secara gramatikal dilihat dari trukturnya. Kalimat seperti: mobil itu sakit adalah kalimat yang tidak berterima meski hal itu benar dipandang dari segi strukturnya. Yang dapat diterima adalah ujaran: Orang itu sakit. Alasan kenapa hal tersbut diterima, ialah karena kita beranggapan atau menerima praanggapan bahawa hanya yang bernyawa atau hidup yang dapat sakit. Masalah ketidakberterimaan itu masih dapat dipecahkan dalam ujaran yang sebenarnya melalui cara interpreyasi metaforik. Contoh: Gunung berapi itu sedang batuk-batuk sebenarnya makhluk yang dapat batuk-batuk hanyalah makhluk yang bernyawa. Karena alasan metaforik, kalimat tersebut berterima (Sauren, 1965:11).
            Peraanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh si penutur sebagai dasar penuturannya. Kalau kita mendengar ujaran Seperti:
a.       Kami tidak jadi berangkat.
b.      Mobil kami rusak .
Secara otomatis dari leksikon yang digunakan penutur dalam ditarik praanggapan sebagai berikut: kata tidak jadi berangkat membawa pengertian bahwa kami seharusnya berngkat. Sedangkan, mobil. Jadi, Praanggpan kedua kalimat dia atas adalah: a. Kami seharusnya berangkat, dan b. Kami mempunyai mobil. 

Dalam analisis  wacana, pranggapan memang memiliki peranan yang sangat penting dalam menetapkan keruntutan (koherensi) wacana. Menurut Fimore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang impilist atau prangapan dan eplisit atau ilokusi. Ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah ukan haya dilihat dari segi car pengungkapan
            Peraggapan telah didefinisikan dengan berbagai macam cara namun secara umum adalah asumsi-asumsi atau intereferensi yang tersirat dalam ungkapan linguistik tertentu. Umpama saja dalam ujaran berikut:  ( dokter berhasil menyelamatkan nyawa bayi itu )
diasumsikan bahwa dokter telah menyelamatkan nyawa si bayi. Selain itu asumsi tersirat dalam makna kerja ‘berhasil’.Namum makna ini bukan bagian dari makna semantik kata kerja ini.Yang di ungkap oleh contoh ini adalah adanya ketergantungan simultan peranggapan pada da transendensinya di luar unsur-unsur leksikal tertentu.Memang ciri-ciri peranggapan itu telah menyebabkan pokok persoalan ini di teliti baik dititik dari prespektif semantic maupun prespektif.
Peranggapan merupakan kondisi yang dianggap ada sebelum membuat ujaran, maka diharapkan peranggapan tidak berpengaruh oleh upaya apapun untuk menghasilkan keadaan yang di uraikan oleh sebuah ujaran.Dalam hal ini masih merupakan suatu peranggapan ujaran.Sehingga dokter berusaha menyelamatkan nyawa bayi.Sehingga meskipun peranggapan dan pelibatan merupakan infereksi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan linguistic tertentu.Namun hanya inferensi yang pertama yaitu peranggapan saja yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan di bawah penegasan.
Menurut levinson  (1983) sebagai ‘uji linguistik’terhadap adanya peranggapan” Uji linguistic lebih anjut untuk sebuah peranggapan adalah uji subtritusi. Peranggapan terkait dengan butir leksikal tertenju jika inferensi-inferens yang di hasilkan oleh butir yang di substitusikan.Dengan menggunakan tes subtitusi ini para ahli isa mengidentifikasi sejumah ungkapan linguistic yang dapat memicu peranggapan-peranggapan. Pemicu peranggapan ini mencangkup deskripsi – deskripsi terbatas:
1. Jhon trapped/ didn’t trap the bird with a red break
( Jhon menjebak/ tidak menjerat burung yang merah paruhnya)
Deskripsi terbatas ‘the bird whit a red break’ memiliki peranggapan bahwa ada seekor burung dengan paruh berwarna merah.
            Daya kemustahilan peranggapan-peranggapan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan perlakuan semantik apapun terhadap pengetian yang didasarkan pada kondisi kebenaran asumsi-asumsi kontekstual yang menolak peranggapan yang biasanya melekat pada kata ‘manage’ bukan merupakan bagian dari kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang mengandung kata kerja. Bahkan saat analisisanalisis semantic terhadap peranggapan sedang di kembangkan, bahwa tidak semua peranggapan dapat di jelaskan dalam kaitannya dengan nilai-nilai kebenaran atau struktur semantic butir-butir leksikalnya selain itu peranggapan yang benar-benar bersifat semantis menurut jenis definisi  yang tidak menunjukkan atribut-atrbut semantikyang esensial. Tidakada kontradiksi  yang di sebabkan oleh penegasian peranggapa yang di hasilkan oleh kata kerja ‘regret’ (menyesal) dalam kalimat berikut:
            Yang di tunjukkan oleh contoh-contoh ini dan berbagai kasus serupa adalah bahwa ada kebutuhan yang terus meningkat untuk keyakinan, pengetahuan bersama, dan pengetahuan yang cocok dalam setiap penjelasan yang memadai terhadap fenomena peranggapan. Banyak teori prakmatik yang selama ini teah ditelaah dalam mengkaji peranggapan dalam pendekatan prakmatik, menurut Mc Cawley (1975) misalnya telah menggunakan teori tindak tutur dalam analisis peranggapnnya pengamatan bahwa peranggapan tertentu dapat ditolak dan di jelaskan dengan mencoraki peranggapan sebagai kondisi pada kinerja kecocokan suatu tndak yang dilakukan secara tidak cocok.

C.    IMPLIKATUR
            Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31). Contoh: Jika kita mendengar ucapan “Panas di sini bukan?” maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dinyalakan atau fentilasi udara dibuka.
            Menurut Grice (1975), dalam pemkaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensiona, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh: a. Dia orang Madura karena itu dia pemberani.
Keterangan Contoh: Penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (Pemberani)  disebabkan oleh ciri lain (Orang Madura), tetapi bentuk ungkapan secara konvesional berimplikasi bahwa hubungan itu ada. Jika individu yang dimaksud itu orang Madura dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah. Contoh lain: Kata wanita, mengimplikasikan informasi mempunyai rambut, hidung, atau bibir sehingga hubungan antarkalimat dapat koheren.
Contoh : a. Saya bertemu seorang gadis.
  b. Rambutnya panjang, hidungnya mancung dan bibirnya tipis.   
Grice (1975:45) mengemukakan prinsip kerjasama sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang anda terlibat didalamnya. Dengan prinsip umum tersebut para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinnya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada.
Prinsip-prinsip Percakapan (Maxims Of Conversation) yaitu:
a.       Prinsip Kuantitas: Berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan, jangan memberikan sumbangan infrmasi yang melebihi yang dibutuhkan.
b.      Prinsip Kualitas: Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
c.       Prinsip Hubungan: Usahakan perkataan anda ada relevansinya.
d.      Prinsip Cara: Hindari pernyataan-pernyataan yang samar, hindari ketaksaan, usahakan agar ringkas dan usahakan bicara teratur.

Kemudian Leech (1985:8) Mengomentari prinsip percakapan Grice tersebut sebagai kendala di dalam bahasa. Prinsip itu berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak atau sebaliknya tidak berlaku sama sekali. Leech (1985:17), mengatakan bhawa pragmatik , komunikasi bahasa merupakan gabungan antar tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dari Pernyataan tersebut kita dapat menyimpulkan dalam komunikasi bahasa, selain menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur ialah menjaga agar percakapan berlangsungs secara lancar, dan hubungan sosial antar penutur dan pendengar tidak terganggu. Contoh memeperlihatkan prinsip sopan santun yang menyelamatkan prinsip kerjasama:
Ibu (I) :”Ada yang memcahkan pot ini.”
Anak (II) : Bukan saya!”
Keterangan : Si anak memberikan jawaban seakan-akan dia bukan pelakunya dalam kalimat tersebut si Ibu tidak ada kata-kata menuduh anaknya. Kita jelaskan sebagai berikut: II tidak tahu pelaku yang sebenarnya, tetapi II mencurigai I. Karena I ingin brsikap sopan ia mengurangi informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronomina kamu dengan pronomina tak tentu ‘ada yang. Sedangkan II menangkap respon tersebut sebagai orang yang dituduh lalu II meyangkalnya dengan kalimat ‘Bukan saya’.
            Menurut Levinson (1983), ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu:
1.      Dapat memberikan penjelasan makana atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
2.      dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaaj lahiriah dari yang dimaksud si pemkai bahasa.
3.       Dapat memberikan pemerian sematik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama,
4.      Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawananb (seperti metafora).
Dari keterangan tersebut jelas, bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak berkaitan, tetapi tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara, Seperti:
Suami  :”Si Cuplik menangis minta mimik ibunya!”
Istri      :”Saya sedang menggoreng.”
Keterangan: Kalimatitu secara konvesional struktural tidak berkaitan, tetapi bagi pendengar yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa artinya kedua kalimat tersebut. Si istri tidak menjawab ujaran suami, tetapi hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng.
            Chomssky (1972), satu kemampuan yang membuat kita dapat melakukan hal itu adalah penguasan kaidah-kaidah tersebutlah yang mampu mempertimbangkansecara intuitif bahwa suatu ujaran yang diucapkan mitra tutur kita itu apik atau tidak apik, dan mampu mempertimbangkan fakta sintaksis bahasa yang diguakan. Seorang penutur bahasa Indonesia, tentunya dapat menyatakan secara intuitif bahwa kalimat dibawah ini tidak apik dan apik dalam bahasa Indonesia, Contoh:
a.       Anak-anak berlari-lari jalan.
b.      Laki-laki itu tidak membunuh isitrinya di tempat tidur.
Kompetensi linguistik itu merupakan kemampuan dasar utama untuk memahami implikatur dalam percakapan. Tanpa memiliki kompetensi lunguistik, seorang penutur akan sulit dapat ,memaknai ujaran yang mengandung makna implikatur. Hal itu terbukti pada proses pemahaman implikatur yang terdapat pada karya sastra asing bagi para pembelajaran bahasa. Para pembelajara yang tidak memiliki kompetensi linguistik yang memadai akan mengalami frustasi dalam memahami implikatur dalam karya sastra asing.
            Iatilah implikatur berantonim dengan eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule,1986:31), istilah implikatur diartikan sebagai “What a speaker can imply, suggest, or men, as distinict frm what a speaker literally says” Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikasur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti meinyatakan sesuatu secara tidak langsung. Contoh:

konteks : Udara sangat dingin. seorang suami yang (mengatkan pada isitrinya yang sedang berada disampingnya.)
Suami  : “Dingin sekali.”
Transrip ujaran suami yang tidak disertai konteks yang elas dapat ditafsir bermaca-macam, antaralain:
a.       Permintaan pada istrinya untuk mengambilkan baju hangat, jaket atau selimut atau minuman hangat untuk mengahatkan tubuhnya.
b.      Permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehingga udara di dalam ruang menjadi hangat.
makna tersebut disebut makna implikatur makna umum secara tersurat (literal), yang bisa disebut eksplikatur.
            Implikatur dapat dibedakan menjadi beberap macam berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Pertama, implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line). Implikatur yang tersebut merupakan implikatur yang sederhana. Kedua implikaturberupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the kine). Implikatur yang merupakan lanjutan dari implikatur jenis pertama. Contoh:
B         :”Aduh perutku keroncongan.”
Implikatur .’mengajak, minta, menyuruh mengambilkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar saat itu saja. (Keroncongan= lagu yang meliuk-liuk.
A         :”Ok, kita ke Warung sari saja.” /

D.    DIEKSIS
Dalam KBBI (2005:245), deiksis diartikan hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata yang mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan. Dalam kegiatan berbahasa.kata-kata atau frasa-frasa yang mengacu kepada beberapa hal tersebut penunjukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti.Rujukan kata-kata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis (Yule, 2006:13).
Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti 'hal yang menunjuk secara 1angsung'.Dalam bahasa Yunani, deiksis merupakan istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dalam tuturan.Sedangkan isti1ah deiktikos yang dipergunakan oleh tata bahasa Yunani da1am pengertian sekarang kita sebut kata ganti demonstratif.
Dari definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa deiksis adalah bentuk bahasa baik berupa kata maupun lainnya yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa. Dengan kata lain, sebuah bentuk bahasa bisa dikatakan bersifat deiksis apabila acuan/ rujukan/ referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti pada siapa yang menjadi si pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Jadi, deiksis merupakan kata-kata yang tidak memiliki referen yang tetap. Seperti contoh dialog berikut ini:
Ani : Hari ini saya akan pergi ke Surabaya. Kalau kamu?
Ali :  Saya santai di rumah.
Kata ‘Saya’ di atas sebagai kata ganti dari dua orang.Kata pertama adalah kata ganti dari Ani.Sedangkan kedua adalah kata ganti Ali.Dari contoh di atas, tampak kata ‘saya’ memiliki referen yang berpindah-pindah sesuai dengan konteks pembicaraan serta situasi berbahasa.
^ Dalam wacana terdapat macam-macam dieksis yaitu:
-          Dieksis Wacana
Digunakan untuk mengacu pada bagian tertentu yang lebih luas (baik teks tertulis maupun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan.Teks tertulis di samping menempati ruang juga di susun di baca pada saat tertentu dalam waktu khuus. Maka sudah biasa bila dieksis wacana harus di ungkapkan melalui unsur linguistic yang sama yang dgunakan untuk mengungkapkan dieksis ruang tempt dan waktu.
Contoh : 1.  * Anda harus mengajukan pendapat yang kuat disana.
              *Kalian itu agak lemah
          2. * Dalam bagian yang akan datang saya mengajukan suatu pandangan yang bertentangan
               * Bab terakhir itu amat membosankan
Dalam kedua ujaran yang pertama istilah dieksis tempat ‘di sana’dan ‘itu’menempatkan pendapat dan kalimat dlam konteks wacana tersebut. Dalam dua ujaran terakhir ungkapan dieksis waktu ‘yang akan datang’ dan ‘terakhir’ sebagai referennya memiliki masing-masing bagian konteks wacana.Fungsi dieksisnya dalam ujaran ini erat kaitannya dengan fungsi dieksis waktu dan erat hubungannya dengan pendukung ujarandalam waktu riilsebagai bagia dari teks lisan.


-          Dieksis Tempat
Adalah yang di uraikan di antara banyak pramater yang sama dan berlaku pada dieksis waktu. Hal ini disebabkan karena acuan pada tempat bersifat absolut atau relatif. Acuan absolut pada tempat menempatkan objek atau orang pada lisan khusus sedangkan acuan relatif menempatkan orag dan tempat dalam kaitannya satu sama lain dan dalam kaitannya dengan penutur.
Contoh: * Bank itu sepuluh hasta jauhnya dari pabrik obat.
                        *Toko terdekat jauhnya dua mil dari sini.
Refen tempat dalam contoh yang pertama tidak tergantung pada saat pembuatan ujaran: jarak antara  bank dan pabrik obat tetap sejauh sepuluh halaman di mana pun penutur ujaran ini berada. Namun demikian lokasi toko bisa kurang lebihdari dua mil jauhnya, trgantung pada lokasi penutur.
Bukan saja terdapat kesamaan yang jelas dapat dilihat fungsi dieksis waktu an dieksis tempat, tetapi ungkapan linguistic yang sama juga dapat berfugsi sebagai ruang dalam suatu konteks dan sebagai waktu dalam konteks yang lain. Hal berlaku bagi kata ganti demnstratif  (petunjuk) ‘this’ dan that’. Kita telah melihat kata ganti demonstrative ini dapat digunakan untuk pada waktu yang tidak termasuk saat di buatnyya ujaran.
Contoh :  I’m going to the dentist this Friday.
            ( aku akan ke dokter gigi Jum’at ini)
Dalam contoh ini ‘this Friday’ sebagai referennnya memiliki periode waktu yang akan datang yang tidak berkaitan dengan waktu penyampaian ujaran tersebut. Namun demikian, demonstrative yag sama ini juga di gunakan untuk mencapai dieksis ruang dalam ujaran berikut dimana waktu ini lokasi penutur pada saat di buatnya ujaran di maksukkan dalam referen ‘this way’:
Contoh:  I’m going to the dentist this way
            ( Saya pergi ke dokter gigi lewat jalan ini)
             Demonstratif bukan satu-satunya unsur dieksis ruang dalam ujaran di atas ujaran ini juga mengakibatkan timbulnya dieksis ruang melalui penggunaan kata kerja.Dalam ujaran di atas, kata kerja mengkodekan gerakan penutur dari suatu sumber ke tujuan kata kerja yang berorientasi pada sumber ini saat dibuatnya ujaran penutur berada pada sumber berbeda dengan kata kerja.
-          Dieksis Waktu
Dieksis ini sering di kodekan dalam bahasainggris dalam berbagai kata keterangan seperti ‘now’ dan ‘then’ dalam istilah penanggalan atau kalender seperti ‘yesterday’, ‘today’, dan ‘tomorrow’. Namun karena mengkodekan unit-unit waktu yang berbeda maka istilah ini dapat melakukannya dengan suatu cara yang mengacu pada bagian-bagan yang lebih besar atau lebih kecil dalam unit tersebut.
Contoh: * Kemarin adalah hari yang luar biasa
                        *Ledakan itu terjadi kemarin
Istilah ‘kemarin’ merupakan unit waktu 24 jam. Namun demikian, ‘kemarin’ dari ujaran yang pertama mengacu pada sebagian besar, dan mungkin semua unit waktu 24 jam ini, sedangkan ‘kemarin’ pada ujara kedua mengacu pada detik-detik daam unit waktu ini.
Untuk beberapa kata keterangan waktulainnya, yang tidak mengkodekan unit waktu, acuannya masih dapat di buat pada rentetan watu yang lebih kecil atau lebih besar.
Contoh: * Pergi sekarang
·         Sekarang tokonya buka
·         Sekarang dia menjadi konsultan piskriatri
Kata keterangan ‘sekarang’ memiliki rentangan rentangan waktu yang berbeda-beda sebagai referennya. Dalam ujaran yang pertama, ‘ sekarang’ mengacu pada detik di tuturkannya ujaran itu, penutur bermaksud agar aksi perintah untuk dilakukan pada saat perintah itu diberikan. Periode wktu yang lama yang meluas dari titik waktu ujara itu merupakan referen ‘sekarang’ dalam ujarang kedua dan ketiga masing-masing jam dan tahun. Unit-unit waktu serupa yang di maksudkan ke dalam berbagai macam kategori dan di uraikan dalam berbagai macam bentuk merupalkan eferen kata sifat dan demonstrative bil digunakan untuk mengungkapkan dieksis waktu.
-          Deiksis Persona
Deiksis persona berkaitan dengan peran peserta yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, ini biasanya berupa kata ganti orang.Kata ganti orang itu ada tiga kategori yaitu orang pertama, orang kedua dan orang ketiga.Kata ganti orang pertama merupakan rujukan pernbicara kepada dirinya sendirin. Dengan kata lain kata ganti persona pertama rnerujuk pada orang yang sedang berbicara. Kata ganti persona ini dibagi rnenjadi dua, yaitu kata ganti persona pertarna tunggal dan kata ganti persona pertarna jarnak.
Kata ganti persona pertama tunggal rnempunyai beberapa bentuk, yaitu aku, saya, daku.Selain bentuk kata ganti persona di atas, digunakan pula nama-nama orang untuk menunjuk persona pertama tunggal (Samsuri, 1987:238). Anak-anak biasa memakai nama diri untuk merujuk, pada dirinya misalnya seorang anak bemama agus suatu ketika dia ingin makan dan dia mengucapkan "Agus mau makan" yang berarti 'Aku mau makan' (bagi diri Agus). Akan tetapi apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah atau seorang ibu dengan nada bertanya seperti "Agus mau makan?" maka nama Agus tidak lagi merujuk pada pembicara tetapi merujuk pada persona kedua tunggal (mitra tutur).
Dalam hal pemakainnya, bentuk persona pertama aku dan saya ada perbedaan.Bentuk saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi.Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi, pidato, sambutan bentuk saya banyak digunakan bahkan pemakian bentuk saya sudah menunjukan rasa hormat dan sopan.Namun demikian tidak menutup kemungkinan bentuk saya dipakai dalam situasi nonformal.
Kata ganti persona kedua adalah rujukan pembicara kepada lawan bicara. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona kedua baik tunggal maupun jamak merujuk pada lawan bicara. Bentuk pronomina persona kedua tunggal adalah kamu dan engkau.
Kata ganti persona ketiga merupakan kategori-sasi rujukan pembicara kepada orang yang berada di luar tindak komunikasi. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona ketiga merujuk orang yang tidak berada baik pada pihak pembicara maupun lawan bicara. Bentuk kata ganti persona ketiga dalam bahasa Indonesia ada dua, yaitu bentuk tunggal dan bentuk jamak. Bentuk tunggal pronomina persona ketiga mempunyai dua bentuk, yaitu ia dan dia yang mempunyai variasi -nya. Bentuk pronomina persona ketiga jamak adalah mereka Di samping arti jamaknya, bentuk mereka berbeda dengan kata ganti persona ketiga tunggal dalam acuannya. Pada umumnya bentuk pronomina persona ketiga hanya untuk merujuk insani. Adanya Kemungkinan rujukan lain merupakan akibat adanya perbedaan konteks penuturan.
Contoh ketiga macam deiksis personal di atas dalam kajian pragmatic adalah seperti dalam dialog berikut ini.
Novi : Liburan nanti kamu pergi kemana?
Septi : Aku mau ke Sangata. Kalau kamu?
Novi : Aku ke Sangata juga.
Danar: Mereka semua liburan. Aku kesepian deh (gumam Danar dalam hati).


-          Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan  yang terdapat antara para partisispan yang dalam peristiwa berbahasa, tertutama yang berhubungan dengan aspek budayanya. Adanya deiksis ini menyebabkan kesopanan atau etiket berbahasa.
Misalnya suatu masyarakat Sunda menganggap kata ‘tuang’ dan kata ‘emam’(makan) yang menunjukkan adanya perbedaan sikap dan kedudukan sosial di antara pembicara pendengar dan orag yang bersangkutan. Tapi, menurut masyarakat lain, dalam bahasa Sunda di kenal adanya bahasa halus dan kasar.
Kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan semua deiksis tersebut dengan tepat. Dengan perkataan lain, dalam suatu peristiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut dapat menggunakan semua deiksis sesuai dengan kadar sosial dan santun berbahasa dengan tepat.

E.      Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai bahwa praanggapan merupakan sebuah ujaran dari lawan bicara kita tentang topikyang sedang kita diskusikan, praanggapan memang memiliki peranan yang sangat penting dalam menetapkankeruntutan wacana, implikatur adalah ujaran yang menyiratkansesuatu yang berbeda dengan yangsebenarnya diucapkan,sedangkan dieksis adalah istilah teknis untuk salah satu yang mendasar yang kita lakukan dengan tuturan .



Sumber :
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arifin, Bustanul dan Abdul rani. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana. Bandung: PT Refika Aditama.
Cummings, Louise.2007. PRAGMATIC.Pustaka pelajar. Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar