Resum Wacana Bahasa Indonesia
PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR DAN INFEREKSI
DIEKSIS
Oleh : Ratna Agustin
A. Pendahuluan
Pada
pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan
teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional,
piranti kohesi dan koherensi. Kali ini kita membahasa mengenai praanggapan,
implikatur dan infereksi dieksis.
Suatu wacana juga dituntut memiliki keutuhan struktur.
Keutuhan itu sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam
suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur
wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau
dideskripsikan bagian-bagiannya. Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi
struktur wacana bial di dalamnya terdapat hubungan emosional antar bagian yang
satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu
bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu
memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.
B.
PRAANGGAPAN
(PRESUEPPOSITION)
Praanggapan memegang penting dalam
menetapkan keruntutan (Koherensi) di sebuah wacana. Menurut Filmore (1981)
Dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang
implisit dan eksplisit, ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah. Bukan
hanya dilihat dari segi cara pengucapan peristiwa yang salah deskripsinya,
tetapi juga cara membuat praanggapan yang salah. Peraanggapan yang tepat dapat
mempertinggi ilmu komunikatif sebuah ujaran yang digunakan. Semakin tepat
praanggapan yang dipotensikan maka semakin tinggi nilai komunikasi suatu
ujaran.
Menurut Chaika (1982:76), dalam
beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan. Chaika mengacu
pada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit, Contoh:
a. Ayah
saya datang dari Surabaya.
Keterangan
Praanggapan: 1. Saya mempunyai ayah; 2. Ayah ada di Surabaya.
Oleh
karena itu fungsi praangapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap
respon penafsiaran suatu ujaran.
Menurut Leech (1981:288), praangapan
haruslah dianggap sebagai mendasar
kelancaran wacana yang komunikatif. Apabila dua orang sedang terlibat dalam
suatu percakapan, mereka saling mengisi tentang berbagai macam pengetahuan
terhdap situasi saat itu, saat percakapan berlanjut, konteksnya berlanjut, maka
unsur-unsur semakin bertambah. Contoh dua praangapan yang mendasari berbeda:
a. Apakah
si Boncel masih pemabuk?
b. Si
Boncel masih meneruskan kebiasaan sebagai seorang pemabuk.
Keterangan
conth: a. mengandung praanggapan bahwa si
Boncel biasannya mabuk pada waktu lampau. Berbeda dengan contoh b.
mengandung praanggapan Si Boncel biasa
mabuk pada waktu lampau dan Si Boncel
adalah orangg yang pemabuk pada masa kini.
Dalam
penafsiaran kalimat-kalimat yang tidak berterima, praanggapan sangat berguna
meski pun kaliat tesrsebut benar secara gramatikal dilihat dari trukturnya.
Kalimat seperti: mobil itu sakit
adalah kalimat yang tidak berterima meski hal itu benar dipandang dari segi
strukturnya. Yang dapat diterima adalah ujaran: Orang itu sakit. Alasan kenapa hal tersbut diterima, ialah karena
kita beranggapan atau menerima praanggapan bahawa hanya yang bernyawa atau
hidup yang dapat sakit. Masalah ketidakberterimaan itu masih dapat dipecahkan
dalam ujaran yang sebenarnya melalui cara interpreyasi metaforik. Contoh: Gunung berapi itu sedang batuk-batuk
sebenarnya makhluk yang dapat batuk-batuk hanyalah makhluk yang bernyawa.
Karena alasan metaforik, kalimat tersebut berterima (Sauren, 1965:11).
Peraanggapan
adalah sesuatu yang
dijadikan oleh si penutur sebagai dasar penuturannya. Kalau kita mendengar
ujaran Seperti:
a. Kami
tidak jadi berangkat.
b. Mobil
kami rusak .
Secara
otomatis dari leksikon yang digunakan penutur dalam ditarik praanggapan sebagai
berikut: kata tidak jadi berangkat
membawa pengertian bahwa kami seharusnya
berngkat. Sedangkan, mobil. Jadi,
Praanggpan kedua kalimat dia atas adalah: a. Kami seharusnya berangkat, dan b.
Kami mempunyai mobil.
Dalam
analisis wacana, pranggapan memang
memiliki peranan yang sangat penting dalam menetapkan keruntutan (koherensi)
wacana. Menurut Fimore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan
tingkat-tingkat komunikasi yang impilist atau prangapan dan eplisit atau
ilokusi. Ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah ukan haya dilihat dari
segi car pengungkapan
Peraggapan telah didefinisikan
dengan berbagai macam cara namun secara umum adalah asumsi-asumsi atau
intereferensi yang tersirat dalam ungkapan linguistik tertentu. Umpama saja
dalam ujaran berikut: ( dokter berhasil menyelamatkan nyawa bayi itu
)
diasumsikan
bahwa dokter telah menyelamatkan nyawa si bayi. Selain itu asumsi tersirat
dalam makna kerja ‘berhasil’.Namum makna ini bukan bagian dari makna semantik
kata kerja ini.Yang di ungkap oleh contoh ini adalah adanya ketergantungan
simultan peranggapan pada da transendensinya di luar unsur-unsur leksikal
tertentu.Memang ciri-ciri peranggapan itu telah menyebabkan pokok persoalan ini
di teliti baik dititik dari prespektif semantic maupun prespektif.
Peranggapan
merupakan kondisi yang dianggap ada sebelum membuat ujaran, maka diharapkan
peranggapan tidak berpengaruh oleh upaya apapun untuk menghasilkan keadaan yang
di uraikan oleh sebuah ujaran.Dalam hal ini masih merupakan suatu peranggapan
ujaran.Sehingga dokter berusaha menyelamatkan nyawa bayi.Sehingga meskipun
peranggapan dan pelibatan merupakan infereksi-inferensi yang tersirat dalam
ungkapan linguistic tertentu.Namun hanya inferensi yang pertama yaitu
peranggapan saja yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan di bawah penegasan.
Menurut
levinson (1983) sebagai ‘uji
linguistik’terhadap adanya peranggapan” Uji linguistic lebih anjut untuk sebuah
peranggapan adalah uji subtritusi. Peranggapan terkait dengan butir leksikal
tertenju jika inferensi-inferens yang di hasilkan oleh butir yang di
substitusikan.Dengan menggunakan tes subtitusi ini para ahli isa
mengidentifikasi sejumah ungkapan linguistic yang dapat memicu
peranggapan-peranggapan. Pemicu peranggapan ini mencangkup deskripsi –
deskripsi terbatas:
1.
Jhon trapped/ didn’t trap the bird with a red break
(
Jhon menjebak/ tidak menjerat burung yang merah paruhnya)
Deskripsi
terbatas ‘the bird whit a red break’ memiliki peranggapan bahwa ada seekor
burung dengan paruh berwarna merah.
Daya kemustahilan peranggapan-peranggapan
tersebut tidak dapat dijelaskan dengan perlakuan semantik apapun terhadap
pengetian yang didasarkan pada kondisi kebenaran asumsi-asumsi kontekstual yang
menolak peranggapan yang biasanya melekat pada kata ‘manage’ bukan merupakan bagian
dari kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang mengandung kata kerja. Bahkan saat
analisisanalisis semantic terhadap peranggapan sedang di kembangkan, bahwa
tidak semua peranggapan dapat di jelaskan dalam kaitannya dengan nilai-nilai
kebenaran atau struktur semantic butir-butir leksikalnya selain itu peranggapan
yang benar-benar bersifat semantis menurut jenis definisi yang tidak menunjukkan atribut-atrbut
semantikyang esensial. Tidakada kontradiksi
yang di sebabkan oleh penegasian peranggapa yang di hasilkan oleh kata
kerja ‘regret’ (menyesal) dalam kalimat berikut:
Yang di tunjukkan oleh contoh-contoh
ini dan berbagai kasus serupa adalah bahwa ada kebutuhan yang terus meningkat
untuk keyakinan, pengetahuan bersama, dan pengetahuan yang cocok dalam setiap
penjelasan yang memadai terhadap fenomena peranggapan. Banyak teori prakmatik
yang selama ini teah ditelaah dalam mengkaji peranggapan dalam pendekatan
prakmatik, menurut Mc Cawley (1975) misalnya telah menggunakan teori tindak
tutur dalam analisis peranggapnnya pengamatan bahwa peranggapan tertentu dapat
ditolak dan di jelaskan dengan mencoraki peranggapan sebagai kondisi pada
kinerja kecocokan suatu tndak yang dilakukan secara tidak cocok.
C.
IMPLIKATUR
Implikatur
dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh
penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown
dan Yule, 1983:31). Contoh: Jika kita mendengar ucapan “Panas di sini bukan?” maka secara implisit penutur menghendaki agar
mesin pendingin dinyalakan atau fentilasi udara dibuka.
Menurut Grice (1975), dalam pemkaian
bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensiona, yaitu
implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.
Contoh: a. Dia orang Madura karena itu dia pemberani.
Keterangan
Contoh: Penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(Pemberani) disebabkan oleh ciri lain
(Orang Madura), tetapi bentuk ungkapan secara konvesional berimplikasi bahwa
hubungan itu ada. Jika individu yang dimaksud itu orang Madura dan tidak
pemberani, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah. Contoh
lain: Kata wanita, mengimplikasikan informasi mempunyai rambut, hidung, atau
bibir sehingga hubungan antarkalimat dapat koheren.
Contoh
: a. Saya bertemu seorang gadis.
b. Rambutnya panjang, hidungnya mancung dan
bibirnya tipis.
Grice
(1975:45) mengemukakan prinsip kerjasama sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan
sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang anda terlibat
didalamnya. Dengan prinsip umum tersebut para penutur disarankan untuk
menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinnya peristiwa tutur,
tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada.
Prinsip-prinsip
Percakapan (Maxims Of Conversation) yaitu:
a. Prinsip
Kuantitas: Berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan, jangan
memberikan sumbangan infrmasi yang melebihi yang dibutuhkan.
b. Prinsip
Kualitas: Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan jangan
mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
c. Prinsip
Hubungan: Usahakan perkataan anda ada relevansinya.
d. Prinsip
Cara: Hindari pernyataan-pernyataan yang samar, hindari ketaksaan, usahakan
agar ringkas dan usahakan bicara teratur.
Kemudian
Leech (1985:8) Mengomentari prinsip percakapan Grice tersebut sebagai kendala
di dalam bahasa. Prinsip itu berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan
berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak atau sebaliknya tidak
berlaku sama sekali. Leech (1985:17), mengatakan bhawa pragmatik , komunikasi
bahasa merupakan gabungan antar tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dari
Pernyataan tersebut kita dapat menyimpulkan dalam komunikasi bahasa, selain
menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur ialah
menjaga agar percakapan berlangsungs secara lancar, dan hubungan sosial antar
penutur dan pendengar tidak terganggu. Contoh memeperlihatkan prinsip sopan
santun yang menyelamatkan prinsip kerjasama:
Ibu
(I) :”Ada yang memcahkan pot ini.”
Anak
(II) : Bukan saya!”
Keterangan
: Si anak memberikan jawaban seakan-akan dia bukan pelakunya dalam kalimat
tersebut si Ibu tidak ada kata-kata menuduh anaknya. Kita jelaskan sebagai
berikut: II tidak tahu pelaku yang sebenarnya, tetapi II mencurigai I. Karena I
ingin brsikap sopan ia mengurangi informatif, tetapi benar, yaitu mengganti
pronomina kamu dengan pronomina tak tentu ‘ada yang. Sedangkan II menangkap
respon tersebut sebagai orang yang dituduh lalu II meyangkalnya dengan kalimat
‘Bukan saya’.
Menurut Levinson (1983), ada empat
macam faedah konsep implikatur, yaitu:
1. Dapat
memberikan penjelasan makana atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau
oleh teori-teori linguistik.
2. dapat
memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaaj lahiriah dari yang dimaksud
si pemkai bahasa.
3. Dapat memberikan pemerian sematik yang
sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang
sama,
4. Dapat
memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah
berlawananb (seperti metafora).
Dari
keterangan tersebut jelas, bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita
lihat tidak berkaitan, tetapi tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa
itu dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara, Seperti:
Suami :”Si Cuplik menangis minta mimik ibunya!”
Istri :”Saya sedang menggoreng.”
Keterangan:
Kalimatitu secara konvesional struktural tidak berkaitan, tetapi bagi pendengar
yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa artinya kedua
kalimat tersebut. Si istri tidak menjawab ujaran suami, tetapi hanya menyatakan
bahwa dirinya sedang menggoreng.
Chomssky (1972), satu kemampuan yang
membuat kita dapat melakukan hal itu adalah
penguasan kaidah-kaidah tersebutlah yang mampu mempertimbangkansecara intuitif
bahwa suatu ujaran yang diucapkan mitra tutur kita itu apik atau tidak apik,
dan mampu mempertimbangkan fakta sintaksis bahasa yang diguakan. Seorang
penutur bahasa Indonesia, tentunya dapat menyatakan secara intuitif bahwa
kalimat dibawah ini tidak apik dan apik dalam bahasa Indonesia, Contoh:
a. Anak-anak
berlari-lari jalan.
b. Laki-laki
itu tidak membunuh isitrinya di tempat tidur.
Kompetensi
linguistik itu merupakan kemampuan dasar utama untuk memahami implikatur dalam
percakapan. Tanpa memiliki kompetensi lunguistik, seorang penutur akan sulit
dapat ,memaknai ujaran yang mengandung makna implikatur. Hal itu terbukti pada
proses pemahaman implikatur yang terdapat pada karya sastra asing bagi para
pembelajaran bahasa. Para pembelajara yang tidak memiliki kompetensi linguistik
yang memadai akan mengalami frustasi dalam memahami implikatur dalam karya
sastra asing.
Iatilah implikatur berantonim dengan eksplikatur.
Menurut Grice (Brown & Yule,1986:31), istilah implikatur diartikan
sebagai “What a speaker can imply, suggest, or men, as distinict frm what a
speaker literally says” Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa implikatur
adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang
terkatakan (eksplikasur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti
meinyatakan sesuatu secara tidak langsung. Contoh:
konteks
: Udara sangat dingin. seorang suami yang (mengatkan pada isitrinya yang sedang
berada disampingnya.)
Suami : “Dingin sekali.”
Transrip
ujaran suami yang tidak disertai konteks yang elas dapat ditafsir
bermaca-macam, antaralain:
a. Permintaan
pada istrinya untuk mengambilkan baju hangat, jaket atau selimut atau minuman
hangat untuk mengahatkan tubuhnya.
b. Permintaan
kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehingga
udara di dalam ruang menjadi hangat.
makna
tersebut disebut makna implikatur makna umum secara tersurat (literal), yang
bisa disebut eksplikatur.
Implikatur dapat dibedakan menjadi
beberap macam berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Pertama, implikatur yang
berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line). Implikatur
yang tersebut merupakan implikatur yang sederhana. Kedua implikaturberupa makna
yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the kine). Implikatur yang merupakan
lanjutan dari implikatur jenis pertama. Contoh:
B :”Aduh perutku keroncongan.”
Implikatur
.’mengajak, minta, menyuruh mengambilkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar
saat itu saja. (Keroncongan= lagu yang meliuk-liuk.
A :”Ok, kita ke Warung sari saja.” /
D. DIEKSIS
Dalam KBBI
(2005:245), deiksis diartikan hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa;
kata yang mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan. Dalam
kegiatan berbahasa.kata-kata atau frasa-frasa yang mengacu kepada beberapa hal
tersebut penunjukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada
siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu.
Kata-kata seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata-kata yang penunjukannya
berganti-ganti.Rujukan kata-kata tersebut barulah dapat diketahui jika
diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu
diucapkan.Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut
deiksis (Yule, 2006:13).
Kata deiksis berasal
dari kata Yunani deiktikos yang berarti 'hal yang menunjuk secara
1angsung'.Dalam bahasa Yunani, deiksis merupakan istilah teknis untuk salah
satu hal mendasar yang dilakukan dalam tuturan.Sedangkan isti1ah deiktikos yang
dipergunakan oleh tata bahasa Yunani da1am pengertian sekarang kita sebut kata
ganti demonstratif.
Dari definisi di
atas, bisa disimpulkan bahwa deiksis adalah bentuk bahasa baik berupa kata
maupun lainnya yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar
bahasa. Dengan kata lain, sebuah bentuk bahasa bisa dikatakan bersifat deiksis
apabila acuan/ rujukan/ referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti pada
siapa yang menjadi si pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat
dituturkannya kata itu. Jadi, deiksis merupakan kata-kata yang tidak memiliki
referen yang tetap. Seperti contoh dialog berikut ini:
Ani : Hari ini saya
akan pergi ke Surabaya. Kalau kamu?
Ali : Saya santai di rumah.
Kata ‘Saya’ di atas
sebagai kata ganti dari dua orang.Kata pertama adalah kata ganti dari
Ani.Sedangkan kedua adalah kata ganti Ali.Dari contoh di atas, tampak kata
‘saya’ memiliki referen yang berpindah-pindah sesuai dengan konteks pembicaraan
serta situasi berbahasa.
^ Dalam wacana terdapat macam-macam dieksis yaitu:
-
Dieksis Wacana
Digunakan untuk mengacu pada bagian tertentu yang
lebih luas (baik teks tertulis maupun teks lisan) tempat terjadinya
ungkapan-ungkapan.Teks tertulis di samping menempati ruang juga di susun di
baca pada saat tertentu dalam waktu khuus. Maka sudah biasa bila dieksis wacana
harus di ungkapkan melalui unsur linguistic yang sama yang dgunakan untuk
mengungkapkan dieksis ruang tempt dan waktu.
Contoh : 1. *
Anda harus mengajukan pendapat yang kuat disana.
*Kalian itu agak lemah
2. * Dalam bagian yang akan datang saya
mengajukan suatu pandangan yang bertentangan
* Bab terakhir itu amat membosankan
Dalam kedua ujaran
yang pertama istilah dieksis tempat ‘di sana’dan ‘itu’menempatkan pendapat dan
kalimat dlam konteks wacana tersebut. Dalam dua ujaran terakhir ungkapan
dieksis waktu ‘yang akan datang’ dan ‘terakhir’ sebagai referennya memiliki
masing-masing bagian konteks wacana.Fungsi dieksisnya dalam ujaran ini erat
kaitannya dengan fungsi dieksis waktu dan erat hubungannya dengan pendukung
ujarandalam waktu riilsebagai bagia dari teks lisan.
-
Dieksis Tempat
Adalah yang di uraikan di antara banyak pramater yang
sama dan berlaku pada dieksis waktu. Hal ini disebabkan karena acuan pada
tempat bersifat absolut atau relatif. Acuan absolut pada tempat menempatkan
objek atau orang pada lisan khusus sedangkan acuan relatif menempatkan orag dan
tempat dalam kaitannya satu sama lain dan dalam kaitannya dengan penutur.
Contoh: * Bank itu sepuluh hasta jauhnya dari pabrik
obat.
*Toko terdekat jauhnya dua mil dari sini.
Refen tempat
dalam contoh yang pertama tidak tergantung pada saat pembuatan ujaran: jarak
antara bank dan pabrik obat tetap sejauh
sepuluh halaman di mana pun penutur ujaran ini berada. Namun demikian lokasi
toko bisa kurang lebihdari dua mil jauhnya, trgantung pada lokasi penutur.
Bukan saja
terdapat kesamaan yang jelas dapat dilihat fungsi dieksis waktu an dieksis
tempat, tetapi ungkapan linguistic yang sama juga dapat berfugsi sebagai ruang
dalam suatu konteks dan sebagai waktu dalam konteks yang lain. Hal berlaku bagi
kata ganti demnstratif (petunjuk) ‘this’
dan that’. Kita telah melihat kata ganti demonstrative ini dapat digunakan
untuk pada waktu yang tidak termasuk saat di buatnyya ujaran.
Contoh : I’m
going to the dentist this Friday.
( aku
akan ke dokter gigi Jum’at ini)
Dalam contoh ini ‘this Friday’ sebagai referennnya
memiliki periode waktu yang akan datang yang tidak berkaitan dengan waktu
penyampaian ujaran tersebut. Namun demikian, demonstrative yag sama ini juga di
gunakan untuk mencapai dieksis ruang dalam ujaran berikut dimana waktu ini
lokasi penutur pada saat di buatnya ujaran di maksukkan dalam referen ‘this
way’:
Contoh: I’m
going to the dentist this way
(
Saya pergi ke dokter gigi lewat jalan ini)
Demonstratif
bukan satu-satunya unsur dieksis ruang dalam ujaran di atas ujaran ini juga
mengakibatkan timbulnya dieksis ruang melalui penggunaan kata kerja.Dalam
ujaran di atas, kata kerja mengkodekan gerakan penutur dari suatu sumber ke
tujuan kata kerja yang berorientasi pada sumber ini saat dibuatnya ujaran
penutur berada pada sumber berbeda dengan kata kerja.
-
Dieksis Waktu
Dieksis ini sering di kodekan dalam bahasainggris
dalam berbagai kata keterangan seperti ‘now’ dan ‘then’ dalam istilah
penanggalan atau kalender seperti ‘yesterday’, ‘today’, dan ‘tomorrow’. Namun
karena mengkodekan unit-unit waktu yang berbeda maka istilah ini dapat
melakukannya dengan suatu cara yang mengacu pada bagian-bagan yang lebih besar
atau lebih kecil dalam unit tersebut.
Contoh: * Kemarin adalah hari yang luar biasa
*Ledakan
itu terjadi kemarin
Istilah
‘kemarin’ merupakan unit waktu 24 jam. Namun demikian, ‘kemarin’ dari ujaran
yang pertama mengacu pada sebagian besar, dan mungkin semua unit waktu 24 jam
ini, sedangkan ‘kemarin’ pada ujara kedua mengacu pada detik-detik daam unit
waktu ini.
Untuk beberapa
kata keterangan waktulainnya, yang tidak mengkodekan unit waktu, acuannya masih
dapat di buat pada rentetan watu yang lebih kecil atau lebih besar.
Contoh: * Pergi
sekarang
·
Sekarang tokonya
buka
·
Sekarang dia
menjadi konsultan piskriatri
Kata keterangan
‘sekarang’ memiliki rentangan rentangan waktu yang berbeda-beda sebagai
referennya. Dalam ujaran yang pertama, ‘ sekarang’ mengacu pada detik di
tuturkannya ujaran itu, penutur bermaksud agar aksi perintah untuk dilakukan
pada saat perintah itu diberikan. Periode wktu yang lama yang meluas dari titik
waktu ujara itu merupakan referen ‘sekarang’ dalam ujarang kedua dan ketiga
masing-masing jam dan tahun. Unit-unit waktu serupa yang di maksudkan ke dalam
berbagai macam kategori dan di uraikan dalam berbagai macam bentuk merupalkan
eferen kata sifat dan demonstrative bil digunakan untuk mengungkapkan dieksis
waktu.
-
Deiksis Persona
Deiksis persona berkaitan dengan peran peserta yang
terlibat dalam peristiwa berbahasa, ini biasanya berupa kata ganti orang.Kata
ganti orang itu ada tiga kategori yaitu orang pertama, orang kedua dan orang
ketiga.Kata ganti orang pertama merupakan rujukan pernbicara kepada dirinya
sendirin. Dengan kata lain kata ganti persona pertama rnerujuk pada orang yang
sedang berbicara. Kata ganti persona ini dibagi rnenjadi dua, yaitu kata ganti
persona pertarna tunggal dan kata ganti persona pertarna jarnak.
Kata ganti persona pertama tunggal rnempunyai
beberapa bentuk, yaitu aku, saya, daku.Selain bentuk kata ganti persona di
atas, digunakan pula nama-nama orang untuk menunjuk persona pertama tunggal
(Samsuri, 1987:238). Anak-anak biasa memakai nama diri untuk merujuk, pada
dirinya misalnya seorang anak bemama agus suatu ketika dia ingin makan dan dia
mengucapkan "Agus mau makan" yang berarti 'Aku mau makan' (bagi diri
Agus). Akan tetapi apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah atau seorang
ibu dengan nada bertanya seperti "Agus mau makan?" maka nama Agus
tidak lagi merujuk pada pembicara tetapi merujuk pada persona kedua tunggal
(mitra tutur).
Dalam hal pemakainnya, bentuk persona pertama aku
dan saya ada perbedaan.Bentuk saya adalah bentuk yang formal dan umumnya
dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi.Untuk tulisan formal pada buku
nonfiksi, pidato, sambutan bentuk saya banyak digunakan bahkan pemakian bentuk
saya sudah menunjukan rasa hormat dan sopan.Namun demikian tidak menutup
kemungkinan bentuk saya dipakai dalam situasi nonformal.
Kata ganti persona kedua adalah rujukan pembicara
kepada lawan bicara. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona kedua baik
tunggal maupun jamak merujuk pada lawan bicara. Bentuk pronomina persona kedua
tunggal adalah kamu dan engkau.
Kata ganti persona ketiga merupakan
kategori-sasi rujukan pembicara kepada orang yang berada di luar tindak
komunikasi. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona ketiga merujuk orang
yang tidak berada baik pada pihak pembicara maupun lawan bicara. Bentuk kata
ganti persona ketiga dalam bahasa Indonesia ada dua, yaitu bentuk tunggal dan
bentuk jamak. Bentuk tunggal pronomina persona ketiga mempunyai dua bentuk,
yaitu ia dan dia yang mempunyai variasi -nya. Bentuk pronomina persona ketiga
jamak adalah mereka Di samping arti jamaknya, bentuk mereka berbeda dengan kata
ganti persona ketiga tunggal dalam acuannya. Pada umumnya bentuk pronomina persona
ketiga hanya untuk merujuk insani. Adanya Kemungkinan rujukan lain merupakan
akibat adanya perbedaan konteks penuturan.
Contoh ketiga macam deiksis personal di atas dalam
kajian pragmatic adalah seperti dalam dialog berikut ini.
Novi : Liburan nanti
kamu pergi kemana?
Septi : Aku mau ke
Sangata. Kalau kamu?
Novi : Aku ke
Sangata juga.
Danar: Mereka semua liburan. Aku kesepian deh (gumam Danar dalam hati).
-
Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan
kemasyarakatan yang terdapat antara para
partisispan yang dalam peristiwa berbahasa, tertutama yang berhubungan dengan
aspek budayanya. Adanya deiksis ini menyebabkan kesopanan atau etiket
berbahasa.
Misalnya suatu
masyarakat Sunda menganggap kata ‘tuang’ dan kata ‘emam’(makan) yang
menunjukkan adanya perbedaan sikap dan kedudukan sosial di antara pembicara
pendengar dan orag yang bersangkutan. Tapi, menurut masyarakat lain, dalam
bahasa Sunda di kenal adanya bahasa halus dan kasar.
Kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana menggunakan semua deiksis tersebut dengan tepat.
Dengan perkataan lain, dalam suatu peristiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut
dapat menggunakan semua deiksis sesuai dengan kadar sosial dan santun berbahasa
dengan tepat.
E. Penutup
Dari beberapa
penjelasan diatas mengenai bahwa praanggapan merupakan sebuah ujaran dari lawan
bicara kita tentang topikyang sedang kita diskusikan, praanggapan memang
memiliki peranan yang sangat penting dalam menetapkankeruntutan wacana,
implikatur adalah ujaran yang menyiratkansesuatu yang berbeda dengan yangsebenarnya
diucapkan,sedangkan dieksis adalah istilah teknis untuk salah satu yang
mendasar yang kita lakukan dengan tuturan .
Sumber :
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arifin, Bustanul dan
Abdul rani. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana.
Bandung: PT Refika Aditama.
Cummings, Louise.2007. PRAGMATIC.Pustaka
pelajar. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar