Resum Wacana
Bahasa Indonesia
ANALISIS WACANA KRITIS
Oleh
: Ratna Agustin
A.
Pendahuluan
Pada
pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan
teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional,
piranti kohesi dan koherensi, praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis,
wacana lisan dan non lisan, monoloh, dialog, pilolog, wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi,
persuasi dan narasi, hakikat
analisis wacana. Kali ini kita membahasa mengenai analisis wacana kritis.
Analisis
wacana Kritis (AWK) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan
menggunakan bahasa kritis. Analisis ini dipandang sebagai oposisi terhadap
analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa
semata, karena analisis jenis ini selain berupaya memperoleh gambaran tentang
aspek kebahasaan, juga menghubungkannya dengan konteks, baik itu konteks
sosial, kultural, ideologi dan domain-domain kekuasaan yang menggunakan bahasa
sebagai alatnya.Dalam Analisis wacana kritis ini terdapat tokoh-tokoh yang
memiliki sudut pandang dan cara analisis yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Masing-masing pandangan tersebut hanya ditujukan pada satu pokok
permasalahan yaitu Analisis wacana Kritis (Critical Discourse Analysis).
Dari sudut
pandang para tokoh Analisis Wacana Kritis, terdapat pandangan bahwa wacana
adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu
pengetahuan.Untuk itu, dalam menganalisis wacana juga harus memperhatikan
masalah ideologi dan sosio kultural yang melatarbelakangi penulisan suatu
wacana.
B. PENGERTIAN ANALISIS WACANA KRITIS
Analisis Wacana
dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang
lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat
keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari
linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat,
seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari
kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai
pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk
wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik,
analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa.
Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat
bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam
analisis wacana.
Ada tiga pandangan
mengenai analisis wacana. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris.
Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan
pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau
ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada
benar tidaknya bahasa secara gramatikal) disebut analisis isi (kuantitatif).
Pandangan kedua
disebut konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana
sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang
mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri
pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara disebut Analisis Framing (discourse
analysis).
Pandangan ketiga
disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini
menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna.
Bahasa tidak
dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek
tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh
karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap
proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana,
perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat
bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif
kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis
(critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis
wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).
Dalam penelitian
ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis. Khususnya pada analisis
wacana model Teun A. van Dijk. Untuk mengkaji maksud-maksud yang ada dalam
bahasa yang digunakan para kandidat Pilgub di Surabaya 2008 pada saat
berkampanye. Baik yang ada pada internet, spanduk, panflet, seteriker, dan
koran.Analisis wacana model van Dijk sering disebut ”kognisi sosial” nama
pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik analisis
wacana model van Dijk. Menurut van Dikj penelitian wacana tidak cukup
hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari
praktik produksi yang harus diamati. Disini patut dilihat juga bagaimana suatu
teks diproduksi. Sehingga kita dapat memperoleh suatu pengetahuan tentang
kenapa suatau teks bisa semacam itu. Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita,
maka dibutuhkan suatu penelitian yang melihat bagaimana produksi teks itu
bekerja, kenapa teks tersabut memarjinalkan wanita. Proses pendekatan dan
produksi ini melibatkan suatu yang disebut kognisi sosial.
Berbagai masalah
kompleks dan rumit itulah yang dicoba digambarakan oleh van Dijk. Oleh
karenanya van Dijk tidak mengeksklusi modelnya hanya semata menganalisis teks.
Tapi ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan
yang ada dalam masyarakat dan berpengaruh pada teks. Wacana oleh van Dijk
digambarkan mempuyai tiga dimensi, diantaranya : teks, kognisi sosial, dan
kontek sosial (analisis sosial). Dalam dimensi teks yang dianalisis bagaimana
struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema
tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari
komunikator. Sedangkan, aspek analisis sosial mempelajari bagunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Namun dalam penelitian ini
hanya memfokuskan pada dimensi teks dan analisis sosial.
C.
SYARAT-SYARAT
KARYA SASTRA
Beberapa
pendekatan yang umum digunakan dalam analisis wacana kritis, antara lain adalah
:
1.
Pendekatan Linguistik Kritis (Critical
Linguistic).
Pendekatan
linguistik kritis menekankan analisis pada bahasa dalam kaitannya dengan
ideologi. Dalam hal ini, ideologi telaah dari sudut pilihan kata lain, aspek
ideologi iti diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa
yang dipakai.
2.
Pendekatan Perancis (French Discourse
Analysis
Pendekatan
Perancis berasumsi bahwa bahasa adalah medan pertarungan kekuasaan. Melaluki
makna yang diciptakan dalam wacana, berbagai kelompok saling berupaya
menanamkan keyakinannya dan pemahamannya kepada kelompok lain. Melalui kata dan
makna yang diciptakan mereka melakukan pertarungan, termasuk kekuasaan untuk
menentukan dan mengukuhkan posisi dominasi kuasa pada yang lain. Dalam
pendekatan ini bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan
materialisasi bahasa pada ideologo. Keduanya, kata yang digunakan dan maknanya
memposisikan orang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah pertarungan wacana
melalui mana suatu kelompok sosial atau kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan
dan pemahamannya. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Sara Mills dengan
perspektif feminisme.
3.
Pendekatan Kognitis Sosial (Socio
Cognitive Approach
Pendekatan ini
dikembangkan oleh Teun Van Dijk yang menitikberatkan pada malah etnis,
rasialisme dan pengungsi. Pendekatan ini disebut sebagai kognisi sosial, karena
ia melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Oleh
karena itu, menurut pendekatan ini analisis wacana dapat digunakan untuk
mengetahui posisi sosial kelompok-kelompok penguasa/dominan dan kelompok
marjinal.
4.
Pendekatan Perubahan Sosial
(Sociocultural Change Approach)
Pendekatan ini
memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Wacana di sini
dipandang sebagai praktik sosial. Dengan demikian ada hubungan dialektis antara
praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga
melekat dalam situasi, institusi dan kelas sosial tertentu. Pendekatan
perubahan sosial memandang wacana sebagai praktik kekuasaan. Menurut pendekatan
ini wacana mempunyai tiga efek dalam perubahan sosial, yaitu a) memberi andil
dalam mengkonstruksikan identitas sosial dan posisi subjek, b) memberi
konstribusi dalam mengkonstruksi relasi sosial, c) memberi kontribusi dalam
mengkruksikan sistem pengetahuan dan kepercayaan.
5.
Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse
Historical Approaches)
Menurut
pendekatan kesejarahan, analisis wacana harus memperhatikan konteks
kesejarahan. Wacana disiji disebut historis karena menurut Wodak, analisis
wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu
kelompok atau komunitas digambarkan. Dalam paradigma kritis, media pandang
sebagai dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan
memarjinalisasi mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Karena media dikuasai
oleh kelompok yang dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan
palsu.
E. Model Analisis Wacana Kritis
Adapun
model-model yang digunakan dalam wacana kritis adalah sebagai berikut:
1.
AWK
Norman Fairclough ( Dialectical-Relational Approach / DRA)
Norman
Fairclough melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial.
Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling
berkaitan antara struktur sosial dan proses produksi wacana. Dalam memahami
wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan
”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang
mempengaruhi pembuatan teks. Fairclough (1989:22-23) berpendapat ada dialektik
antara sosial dan wacana.Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian juga
tatanan sosial mempengaruhi wacana.Pertama, discourse membentuk dan dibentuk oleh masyarakat.Kedua, discourse membantu membentuk dan mengubah pengetahuan beserta objek-objeknya,
hubungan sosial, dan identitas sosial.Ketiga, discourse dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait
dengan ideologi.Keempat, pembentukan
discourse menandai adanya tarik ulur
kekuasaan. Dengan demikian, model analisis wacana yang dikembangkan oleh
Fairclough disebut dengan Pendekatan Relasi Dialektik (Dialectical-Relational Approach / DRA) atau biasa juga disebut dengan
pendekatan perubahan sosial.
Konsep yang
dibentuk oleh Fairclough (1989 dan 1995) menitikberatkan pada tiga level.Pertama, setiap teks
secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan
identitas.Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja
media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku
pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya,
pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis
berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal
yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan
ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga
mempengaruhi institusi media dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya
meliputi tiga level, yaitu: level situasional, institusional, dan sosial. Level
situasional berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya.Level
institusional berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun
eksternal.Level sosial berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan.
2.
AWK
Theo Van Leeuwen (Social Actors Approach/ SAA)
Theo van
Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mengetahui bagaimana sebuah
kelompok dimunculkan atau disembunyikan. Analisis Van Leeuwen menampilkan
bagaimana pihak-pihak dan aktor (Social Actors)
ditampilkan dalam pemberitaan. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang
kendali, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk
terus-menerus dijadikan objek pemaknaan dan digambarkan secara buruk. Kelompok
buruh, petani, nelayan, imigran gelap, dan wanita adalah kelompok yang bukan
hanya tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan, namun juga dalam wacana
pemberitaan sering digambarkan tidak berpendidikan, liar,mengganggu
ketentraman, melakukan demonstrasi, dan sering bertindak anarkis.Seringkali
kelompok terpinggirkan ini digambarkan secara buruk di media.Buruh yang
berdemonstrasi sering ditindak dengan kekerasan, setelah terbentuk wacana bahwa
demonstrasi dan pemogokan buruh itu banyak menimbulkan keonaran, kemacetan, dan
kerusakan (Eriyanto, 2009: 171).
Penggambaran
buruk dalam media kepada kelompok yang lebih lemah ini seringkali menjadikan
kelompok ini sebagai kelompok
yang salah dan pemilik modal menjadi pihak yang terlihat ‘dirugikan’.Media massa menggiring kelompok tertentu menjadi
salah atau disalahkan.
Lewat
pemberitaan yang terus-menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu. Wacana
yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan
mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain. Kita sering merasa ada
ketidakadilan dalam berita mengenai pemerkosaan terhadap wanita, bagaimana
pihak yang menjadi korban ini digambarkan secara buruk, sehingga khalayak lebih
bersimpati kepada laki-laki yang menjadi pelaku.Van Leeuwen membuat suatu model
analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor
sosial tersebut ditampilkan dalam media dan bagaimana suatu kelompok yang tidak
punya akses menjadi pihak yang secara terus menerus dimarjinalkan (Leeuwen,
2008:23-54).Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak
dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan.Van
Leeuwen fokus kepada dua hal.Pertama, proses pengeluaran (exclusion).Van Leeuwen (2008:28) berkata bahwa. Exclusionmenjadi bagian yang sangat penting dalam analisis
wacana kritis.Eksklusi (exclusion)
yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan
dalam pemberitaan, yang dimaksudkan dengan pengeluaran seseorang atau aktor
dalam pemberitaan adalah, menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam
berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi perhatian berita.
Proses
pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan
suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Kedua, proses pemasukan (inclusion).
Proses ini adalah lawan dari proses exclusion, proses ini berhubungan dengan bagaimana seseorang atau kelompok aktor
dalam suatu kejadian dimasukkan atau direpresentasikan ke dalam sebuah berita.
Baik exclusion maupun inclusion merupakan strategi wacana. Van Leeuwen
(2008:31) berkata bahwa eksklusi dan inklusi menjadi cara mempresentasikan
aktor sosial di dalam wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau
susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing
kelompok direpresentasikan ke dalam sebuah teks. Secara lengkap Van Leeuwen
(2008:31-54) mengurai untuk melihat eksklusi dan inklusi dalam wacana
memperhatikan adanya: nominalisasi, pasivasi, alokasi, generiksasi dan
spesifikasi, asimilasi, asosiasi dan diasossiasi, indeterminasi dan
diferensiasi, nominasi dan kategorisasi, fungsionalisasi dan identifikasi,
personalisasi dan impersonalisasi, serta overdeterminasi.
3.
AWK
Teun A. Van Dijk (Socio-cognitive Approach / SCA)
Model van Dijk ini sering disebut
sebagai ”kognisi sosial”. Menurutnya penelitian
atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks
hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.Dalam hal
ini harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu
pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.Model van Dijk lebih menekankan pada
kognisi sosial individu yang memproduksi teks tersebut. Wacana oleh van Dijk
digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks
sosial. Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam suatu kesatuan
analisis.Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi
wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi sosial mempelajari
proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan.
Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam
masyarakat akan suatu masalah. Dalam kerangka analisis wacana kritis model Van
Dijk, struktur wacana tersusun atas tiga bangunan struktur yang membentuk satu
kesatuan. Masing-masing adalah struktur makro, super struktur, dan struktur
mikro (macro structure, superstructure, and micro structure).Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan
(global meaning) yang dapat
dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana.Super-struktur
menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman
percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi
pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup.
Dalam
tulisannya berjudul Structures of news in the
press,Van Dijk (1985) menyimpulkan bahwa bangunan wacana harus
mempertimbangkan aspek makna global (global meaning) yang
ditunjukkan lewat analisis struktur makro dan super struktur yang posisinya
jauh di atas analisis kata dan kalimat, meskipun analisis struktur mikro juga
patut diperhitungkan. Selain struktur makro dan super struktur di atas, Van
Dijk juga melihat struktur mikro ketika melihat wacana.Struktur mikro menunjuk
pada makna setempat (local meaning)
suatu wacana dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan
retorika.Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud
praanggapan, serta nominalisasi.
Aspek
sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frasa dan atau kalimat
disusun untuk dikemukakan.Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, serta
pemilihan sejumlah kata ganti. Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan
pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam kaitan
pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini
berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorika suatu wacana menunjuk
pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk
memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang
digunakan.Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap
kognisi sosial pembuat wacana. Secara teori, pernyataan ini didasarkan pada
penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak
dan struktur wacana yang dihasilkan.
4.
AWK
Ruth Wodak (Discourse-Historical Approaches/ DHA)
Wodak dan
Martin Reisigl (2001) dengan dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt,
khususnya Jurgen Habermas, mengembangkan analisis dengan melihat faktor
historis dalam suatu wacana. Penelitiannya terutama ditujukan untuk meneliti
seksisme, antisemit, dan rasialisme dalam media dan masyarakat.Analisis wacana
yang dikembangkan disebut wacana historis karena menurut mereka, analisis
wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana suatu kelompok atau
komunitas digambarkan.
Dalam artikel berjudul “The
Discourse-Historical Approach”, dimuat di Wodak
and Meyer (2001:63-94), Wodak memaparkan prosedur analisisnya. Rumusan prosedur
analisis wacana kritis model Wodak (DHA) dilakukan secara tiga dimensi: setelah
(1) menentukan konten atau topik yang spesifik dari sebuah wacana yang
spesifik, (2) menelaah/menginvestigasi strategi-strategi diskursif (termasuk
strategi argumentasi). Lalu (3), menganalisis realisasi makna-makna kebahasaan
yang tertulis dan spesifik, juga makna-makna kebahasaan dalam konteks tertentu.
Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 72-73) mengajukan beberapa elemen dan
strategi diskursif yang harus mendapatkan perhatian, yang dirangkum menjadi
lima (5) pertanyaan, yaitu:
1.
Bagaimana nama orang dan secara linguistik mengacu
kepada siapa?
2.
Apa sifat,
karakter, kualitas, dan bentuk penggambaran kepada mereka?
3.
Dengan argumen dan argumentasi seperti apa orang atau
sekelompok orang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?
4.
Dari perspektif mana pelabelan, penggambaran, dan
argumentasi disampaikan?
5.
Apakah pengungkapan disampaikan secara jelas, apakah
diintensifkan, atau apakah malah dikurangi?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak tertarik
dengan 5 tipe/jenis strategi diskursif, yang semuanya masuk ke dalam
menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan orang lain yang negatif. Konstruksi
diskursif dari “SAYA” dan “MEREKA” adalah landasan dasar wacana identitas dan
perbedaan.“Strategi” tersebut digunakan
untuk meraih tujuan wacana bidang sosial, politik, psikologi, atau kebahasaan.
Ketika strategi diskursif tersebut disampaikan dengan penggunaan bahasa, Wodak
memetakannya ke dalam level organisasi linguistik dan kompleksitas yang
berbeda. Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 69) menyebutkan analisis
linguistik yang harus dilakukan dalam analisis wacana yang dikembangkannya
meliputi 4 area; perspektivasi, strategi representasi diri, strategi
argumentasi, dan strategi mitigasi. Dengan demikian akan diketahui pengembangan
wacana yang dilakukan dalam bidang seksisme, antisemit, ataupun rasisme.
6.
AWK
Sara Mills (Feminist Stylistics Approach/ FSA)
Model analisis wacana Mills menekankan pada bagaimana
wanita ditampilkan dalam teks.Mills melihat bahwa selama ini wanita selalu
dimarjinalkan dalam teks dan selalu berada dalam posisi yang salah.Pada teks,
mereka tidak diberikan kesempatan untuk membela diri.Oleh karena itu, model
wacana ini sering disebut sebagai analisis wacana perspektif feminis.Sara Mill
menyebut analisisnya dengan Feminist
Stylistics.Sara Mills (1995:13) mengatakan Feminist
Stylisticsbertujuan untuk membuat asumsi
yang ada dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya
menambahkan topik Gender ke daftar elemen yang dianalisa, namun menggunakan
stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan
untuk memaksimalkan stilistika dalam analisis bahasa, tidak lagi bahwa bahasa
itu sekedar ada, atau memang harus ada dan dimunculkan. Sara Mills
mengembangkan analisis untuk melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan
dalam teks. Dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang
menjadi objek penceritaan. Dengan demikian akan didapatkan bagaimana struktur
teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.
Sara Mills
juga melihat bagaimana pembaca dan penulis diperlakukan dalam teks. Bagaimana
pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi
semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi
bagaimana teks itu ditampilkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi
yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi
terlegitimasi dan pihak lain menjadi tak terlegitimasi. Menurut Sara Mills
konsep posisi pembaca yang ditempatkan dalam berita dibentuk oleh penulis tidak
secara langsung, namun sebaliknya. Ini terjadi melalui penyapaan dalam dua
cara. Pertama, suatu teks memunculkan wacana secara bertingkat dengan mengetengahkan
kebenaran secara hirarkis dan sistematis, sehingga pembaca mengidentifikasikan
dirinya dengan karakter atau apa yang terjadi di dalam teks (Eriyanto, 2001). Kedua, kode budaya.Ini
mengacu pada kode atau nilai budaya yang berlaku di benak pembaca ketika
menafsirkan suatu teks.
F.
Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas disimpulkan
bahwa Analisis Wacana dalam
studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih
memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat
keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari
linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat,
seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari
kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai
pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk
wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik,
analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa.
Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat
bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam
analisis wacana.
Sumber :
Brown dan Yule. 1996. Analisis
Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Eritanto.2001.AnalisisWacana:PengantarAnalisisTeksMedia.Yogyakarta:LKiS.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Analisis Wacana. Bandung: Angkasa.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. cet. ke-4. Jakarta:
Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar