Rabu, 11 Juli 2018

ANALISIS WACANA KRITIS



Resum Wacana Bahasa Indonesia
ANALISIS WACANA KRITIS
   Oleh : Ratna Agustin
A.      Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional, piranti kohesi dan koherensi, praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis, wacana lisan dan non lisan, monoloh, dialog, pilolog, wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi, hakikat analisis wacana. Kali ini kita membahasa mengenai analisis wacana kritis.
Analisis wacana Kritis (AWK) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan bahasa kritis. Analisis ini dipandang sebagai oposisi terhadap analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa semata, karena analisis jenis ini selain berupaya memperoleh gambaran tentang aspek kebahasaan, juga menghubungkannya dengan konteks, baik itu konteks sosial, kultural, ideologi dan domain-domain kekuasaan yang menggunakan bahasa sebagai alatnya.Dalam Analisis wacana kritis ini terdapat tokoh-tokoh yang memiliki sudut pandang dan cara analisis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan tersebut hanya ditujukan pada satu pokok permasalahan yaitu Analisis wacana Kritis (Critical Discourse Analysis).
Dari sudut pandang para tokoh Analisis Wacana Kritis, terdapat pandangan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan.Untuk itu, dalam menganalisis wacana juga harus memperhatikan masalah ideologi dan sosio kultural yang melatarbelakangi penulisan suatu wacana.
B.     PENGERTIAN ANALISIS WACANA KRITIS
Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) disebut analisis isi (kuantitatif).
Pandangan kedua disebut  konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara disebut  Analisis Framing (discourse analysis).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).
Dalam penelitian ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis. Khususnya pada analisis wacana model Teun A. van Dijk. Untuk mengkaji maksud-maksud yang ada dalam bahasa yang digunakan para kandidat Pilgub di Surabaya 2008 pada saat berkampanye. Baik yang ada pada internet, spanduk, panflet, seteriker, dan koran.Analisis wacana model van Dijk sering disebut ”kognisi sosial” nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik analisis wacana model van Dijk. Menurut van Dikj penelitian  wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari praktik produksi yang harus diamati. Disini patut dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Sehingga kita dapat memperoleh suatu pengetahuan tentang kenapa suatau teks bisa semacam itu. Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita, maka dibutuhkan suatu penelitian yang melihat bagaimana produksi teks itu bekerja, kenapa teks tersabut memarjinalkan wanita. Proses pendekatan dan produksi ini melibatkan suatu yang disebut kognisi sosial.
Berbagai masalah kompleks dan rumit itulah yang dicoba digambarakan oleh van Dijk. Oleh karenanya van Dijk tidak mengeksklusi modelnya hanya semata menganalisis teks. Tapi ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan berpengaruh pada teks. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempuyai tiga dimensi, diantaranya : teks, kognisi sosial, dan kontek sosial (analisis sosial). Dalam dimensi teks yang dianalisis bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari komunikator. Sedangkan, aspek analisis sosial mempelajari bagunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Namun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada dimensi teks dan analisis sosial.
C.     SYARAT-SYARAT KARYA SASTRA

Beberapa pendekatan yang umum digunakan dalam analisis wacana kritis, antara lain adalah :
1.      Pendekatan Linguistik Kritis (Critical Linguistic).
Pendekatan linguistik kritis menekankan analisis pada bahasa dalam kaitannya dengan ideologi. Dalam hal ini, ideologi telaah dari sudut pilihan kata lain, aspek ideologi iti diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai.
2.      Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis
Pendekatan Perancis berasumsi bahwa bahasa adalah medan pertarungan kekuasaan. Melaluki makna yang diciptakan dalam wacana, berbagai kelompok saling berupaya menanamkan keyakinannya dan pemahamannya kepada kelompok lain. Melalui kata dan makna yang diciptakan mereka melakukan pertarungan, termasuk kekuasaan untuk menentukan dan mengukuhkan posisi dominasi kuasa pada yang lain. Dalam pendekatan ini bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologo. Keduanya, kata yang digunakan dan maknanya memposisikan orang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah pertarungan wacana melalui mana suatu kelompok sosial atau kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Sara Mills dengan perspektif feminisme.
3.      Pendekatan Kognitis Sosial (Socio Cognitive Approach
Pendekatan ini dikembangkan oleh Teun Van Dijk yang menitikberatkan pada malah etnis, rasialisme dan pengungsi. Pendekatan ini disebut sebagai kognisi sosial, karena ia melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini analisis wacana dapat digunakan untuk mengetahui posisi sosial kelompok-kelompok penguasa/dominan dan kelompok marjinal.
4.      Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Pendekatan ini memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan demikian ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat dalam situasi, institusi dan kelas sosial tertentu. Pendekatan perubahan sosial memandang wacana sebagai praktik kekuasaan. Menurut pendekatan ini wacana mempunyai tiga efek dalam perubahan sosial, yaitu a) memberi andil dalam mengkonstruksikan identitas sosial dan posisi subjek, b) memberi konstribusi dalam mengkonstruksi relasi sosial, c) memberi kontribusi dalam mengkruksikan sistem pengetahuan dan kepercayaan.
5.      Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approaches)
Menurut pendekatan kesejarahan, analisis wacana harus memperhatikan konteks kesejarahan. Wacana disiji disebut historis karena menurut Wodak, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan. Dalam paradigma kritis, media pandang sebagai dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalisasi mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu.

E. Model Analisis Wacana Kritis
Adapun model-model yang digunakan dalam wacana kritis adalah sebagai berikut:
1.      AWK Norman Fairclough ( Dialectical-Relational Approach / DRA)
Norman Fairclough melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara struktur sosial dan proses produksi wacana. Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Fairclough (1989:22-23) berpendapat ada dialektik antara sosial dan wacana.Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian juga tatanan sosial mempengaruhi wacana.Pertama, discourse membentuk dan dibentuk oleh masyarakat.Kedua, discourse membantu membentuk dan mengubah pengetahuan beserta objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial.Ketiga, discourse dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi.Keempat, pembentukan discourse menandai adanya tarik ulur kekuasaan. Dengan demikian, model analisis wacana yang dikembangkan oleh Fairclough disebut dengan Pendekatan Relasi Dialektik (Dialectical-Relational Approach / DRA) atau biasa  juga disebut dengan pendekatan perubahan sosial.
Konsep yang dibentuk oleh Fairclough (1989 dan 1995) menitikberatkan pada tiga level.Pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas.Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya, pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi institusi media dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga level, yaitu: level situasional, institusional, dan sosial. Level situasional berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya.Level institusional berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal.Level sosial berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.
2.      AWK Theo Van Leeuwen (Social Actors Approach/ SAA)
Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mengetahui bagaimana sebuah kelompok dimunculkan atau disembunyikan. Analisis Van Leeuwen menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (Social  Actors) ditampilkan dalam pemberitaan. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus-menerus dijadikan objek pemaknaan dan digambarkan secara buruk. Kelompok buruh, petani, nelayan, imigran gelap, dan wanita adalah kelompok yang bukan hanya tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan, namun juga dalam wacana pemberitaan sering digambarkan tidak berpendidikan, liar,mengganggu ketentraman, melakukan demonstrasi, dan sering bertindak anarkis.Seringkali kelompok terpinggirkan ini digambarkan secara buruk di media.Buruh yang berdemonstrasi sering ditindak dengan kekerasan, setelah terbentuk wacana bahwa demonstrasi dan pemogokan buruh itu banyak menimbulkan keonaran, kemacetan, dan kerusakan (Eriyanto, 2009: 171).
Penggambaran buruk dalam media kepada kelompok yang lebih lemah ini seringkali menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang salah dan pemilik modal menjadi pihak yang terlihat ‘dirugikan’.Media massa menggiring kelompok tertentu menjadi salah atau disalahkan.
Lewat pemberitaan yang terus-menerus disebarkan, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu. Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain. Kita sering merasa ada ketidakadilan dalam berita mengenai pemerkosaan terhadap wanita, bagaimana pihak yang menjadi korban ini digambarkan secara buruk, sehingga khalayak lebih bersimpati kepada laki-laki yang menjadi pelaku.Van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial tersebut ditampilkan dalam media dan bagaimana suatu kelompok yang tidak punya akses menjadi pihak yang secara terus menerus dimarjinalkan (Leeuwen, 2008:23-54).Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan.Van Leeuwen fokus kepada dua hal.Pertama, proses pengeluaran (exclusion).Van Leeuwen (2008:28) berkata bahwa. Exclusionmenjadi bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis.Eksklusi (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, yang dimaksudkan dengan pengeluaran seseorang atau aktor dalam pemberitaan adalah, menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi perhatian berita.
Proses pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Kedua, proses pemasukan (inclusion). Proses ini adalah lawan dari proses exclusion, proses ini berhubungan dengan bagaimana seseorang atau kelompok aktor dalam suatu kejadian dimasukkan atau direpresentasikan ke dalam sebuah berita. Baik exclusion maupun inclusion merupakan strategi wacana. Van Leeuwen (2008:31) berkata bahwa eksklusi dan inklusi menjadi cara mempresentasikan aktor sosial di dalam wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan ke dalam sebuah teks. Secara lengkap Van Leeuwen (2008:31-54) mengurai untuk melihat eksklusi dan inklusi dalam wacana memperhatikan adanya: nominalisasi, pasivasi, alokasi, generiksasi dan spesifikasi, asimilasi, asosiasi dan diasossiasi, indeterminasi dan diferensiasi, nominasi dan kategorisasi, fungsionalisasi dan identifikasi, personalisasi dan impersonalisasi, serta overdeterminasi.
3.              AWK Teun A. Van Dijk (Socio-cognitive Approach / SCA)
Model van Dijk ini sering disebut sebagai ”kognisi sosial”. Menurutnya penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.Dalam hal ini harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.Model van Dijk lebih menekankan pada kognisi sosial individu yang memproduksi teks tersebut. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam suatu kesatuan analisis.Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi sosial mempelajari proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Dalam kerangka analisis wacana kritis model Van Dijk, struktur wacana tersusun atas tiga bangunan struktur yang membentuk satu kesatuan. Masing-masing adalah struktur makro, super struktur, dan struktur mikro (macro structure, superstructure, and micro structure).Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana.Super-struktur menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup.
Dalam tulisannya berjudul Structures of news in the press,Van Dijk (1985) menyimpulkan bahwa bangunan wacana harus mempertimbangkan aspek makna global (global meaning) yang ditunjukkan lewat analisis struktur makro dan super struktur yang posisinya jauh di atas analisis kata dan kalimat, meskipun analisis struktur mikro juga patut diperhitungkan. Selain struktur makro dan super struktur di atas, Van Dijk juga melihat struktur mikro ketika melihat wacana.Struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika.Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud praanggapan, serta nominalisasi.
Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frasa dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan.Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorika suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan.Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teori, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan.
4.              AWK Ruth Wodak (Discourse-Historical Approaches/ DHA)
Wodak dan Martin Reisigl (2001) dengan dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas, mengembangkan analisis dengan melihat faktor historis dalam suatu wacana. Penelitiannya terutama ditujukan untuk meneliti seksisme, antisemit, dan rasialisme dalam media dan masyarakat.Analisis wacana yang dikembangkan disebut wacana historis karena menurut mereka, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Dalam artikel berjudul “The Discourse-Historical Approach”, dimuat di Wodak and Meyer (2001:63-94), Wodak memaparkan prosedur analisisnya. Rumusan prosedur analisis wacana kritis model Wodak (DHA) dilakukan secara tiga dimensi: setelah (1) menentukan konten atau topik yang spesifik dari sebuah wacana yang spesifik, (2) menelaah/menginvestigasi strategi-strategi diskursif (termasuk strategi argumentasi). Lalu (3), menganalisis realisasi makna-makna kebahasaan yang tertulis dan spesifik, juga makna-makna kebahasaan dalam konteks tertentu. Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 72-73) mengajukan beberapa elemen dan strategi diskursif yang harus mendapatkan perhatian, yang dirangkum menjadi lima (5) pertanyaan, yaitu:
1.              Bagaimana nama orang dan secara linguistik mengacu kepada siapa?
2.                 Apa sifat, karakter, kualitas, dan bentuk penggambaran kepada mereka?
3.              Dengan argumen dan argumentasi seperti apa orang atau sekelompok orang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?
4.              Dari perspektif mana pelabelan, penggambaran, dan argumentasi disampaikan?
5.              Apakah pengungkapan disampaikan secara jelas, apakah diintensifkan, atau apakah malah dikurangi?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak tertarik dengan 5 tipe/jenis strategi diskursif, yang semuanya masuk ke dalam menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan orang lain yang negatif. Konstruksi diskursif dari “SAYA” dan “MEREKA” adalah landasan dasar wacana identitas dan perbedaan.“Strategi” tersebut digunakan untuk meraih tujuan wacana bidang sosial, politik, psikologi, atau kebahasaan. Ketika strategi diskursif tersebut disampaikan dengan penggunaan bahasa, Wodak memetakannya ke dalam level organisasi linguistik dan kompleksitas yang berbeda. Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 69) menyebutkan analisis linguistik yang harus dilakukan dalam analisis wacana yang dikembangkannya meliputi 4 area; perspektivasi, strategi representasi diri, strategi argumentasi, dan strategi mitigasi. Dengan demikian akan diketahui pengembangan wacana yang dilakukan dalam bidang seksisme, antisemit, ataupun rasisme.
6.              AWK Sara Mills (Feminist Stylistics Approach/ FSA)
Model analisis wacana Mills menekankan pada bagaimana wanita ditampilkan dalam teks.Mills melihat bahwa selama ini wanita selalu dimarjinalkan dalam teks dan selalu berada dalam posisi yang salah.Pada teks, mereka tidak diberikan kesempatan untuk membela diri.Oleh karena itu, model wacana ini sering disebut sebagai analisis wacana perspektif feminis.Sara Mill menyebut analisisnya dengan Feminist Stylistics.Sara Mills (1995:13) mengatakan Feminist Stylisticsbertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik Gender ke daftar elemen yang dianalisa, namun menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam analisis bahasa, tidak lagi bahwa bahasa itu sekedar ada, atau memang harus ada dan dimunculkan. Sara Mills mengembangkan analisis untuk melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Dengan demikian akan didapatkan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.
Sara Mills juga melihat bagaimana pembaca dan penulis diperlakukan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu ditampilkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi terlegitimasi dan pihak lain menjadi tak terlegitimasi. Menurut Sara Mills konsep posisi pembaca yang ditempatkan dalam berita dibentuk oleh penulis tidak secara langsung, namun sebaliknya. Ini terjadi melalui penyapaan dalam dua cara. Pertama, suatu teks memunculkan wacana secara bertingkat dengan mengetengahkan kebenaran secara hirarkis dan sistematis, sehingga pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan karakter atau apa yang terjadi di dalam teks (Eriyanto, 2001).  Kedua, kode budaya.Ini mengacu pada kode atau nilai budaya yang berlaku di benak pembaca ketika menafsirkan suatu teks.

F.      Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas  disimpulkan bahwa Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.  

Sumber :
Brown dan Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Eritanto.2001.AnalisisWacana:PengantarAnalisisTeksMedia.Yogyakarta:LKiS.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Analisis Wacana. Bandung: Angkasa.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. cet. ke-4. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar