Rabu, 11 Juli 2018

ANALISIS WACANA BERDASARKAN PENDAPAT VAN DJIK DAN NORMAN FAIR CLOUGH

Resum Wacana Bahasa Indonesia
ANALISIS WACANA BERDASARKAN PENDAPAT VAN DJIK DAN NORMAN FAIR CLOUGH
   Oleh : Ratna Agustin
A.      Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional, piranti kohesi dan koherensi, praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis, wacana lisan dan non lisan, monoloh, dialog, pilolog, wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi, hakikat analisis wacana, analisis wacana kritis. Kali ini kita membahas mengenai .
Menurut Eriyanto (2011:221) menyatakan bahwa Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal, yaitu kajian wacana yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Hakikat analisis wacana pada dasarnya adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada konteks wacana di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk lebih besar dari kalimat.
B. Hakikat Wacana Menurut Teun A Van Djik dalam Dharma (2009: 23) Teks
            Menurut Van Djik dalam Eriyanto (2011:221) penelitian atas wacana tidak cukup didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya berupa hasil dari praktek produksi dimana teks-teks tersebut nerupakan bentuk proses dari kognisi sosial, sedangkan kognisi sosial sendiri merupakan bentuk dari pendekatan lapngan psikologi sosial. Pendekatan ini merupakan pendekatan analisis wacana yang menjelaskan tentang struktur dan proses terbentuknya suatu teks.
Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengiklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagian produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. Analisis Van Djik adalah menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagian struktur teks dalam strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. pada level kognisi sosial dipelajari proses teks berita dengan melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis Van Djik di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian pada teks ke arah analisis yang kooperehensif.

Hakikat Wacana Menurut Teun A Van Djik dalam Dharma (2009: 23)
No

Nama Metode
Demensi Teoritis
(Sebuah Abstraksi)
Penggunaan sebagai Metode Analisis Wacana

Analisis  Framing (Sobur, 2001; Erianto, 2002; Hamad, 2004; Van Djik, 1988) dalam Darma, 2008:23.
Teori farming berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut analisis farming, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana menurut farming terdiri dari sejumlah komponen yang di isi dengan fakta-fakta pilihan itu.
Terdapat beberapa varian analisis farming. Cara menganalisiswacanadengan farming adalahmemenuhisetiapkomponenfarming  denganfakta (bagiannaska) yang terdapatdalamsuatunaska.
-komponen Farming Gamsondan Modigliani: Metaphors, Exemplars, Catchpharases, Depictions, Visual images, Roots, Consequences, danappleals to principals.
-komponen farming VnDjik:Summary (Headline lead); story (situa-tionand  comments). Situation (episode and background); commend (verbal reaction  and conclusions). Episode (main evets and consequences). Background (context and history). History (circumstances and prevoous events). Conclusion (expectations and evaluations).

C.      CARA ANALISIS WACANA
Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat.Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal). Disebut Analisis Isi (kuantitatif)
Pandangan kedua disebut  konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Disebut  Analisis Framing (discourse analysis).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).
Analisis wacana model van Dijk sering disebut ”kognisi sosial” nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik analisis wacana model van Dijk. Menurut van Dikj penelitian  wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari praktik produksi yang harus diamati. Disini patut dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Sehingga kita dapat memperoleh suatu pengetahuan tentang kenapa suatau teks bisa semacam itu. Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita, maka dibutuhkan suatu penelitian yang melihat bagaimana produksi teks itu bekerja, kenapa teks tersabut memarjinalkan wanita. Proses pendekatan dan produksi ini melibatkan suatu yang disebut kognisi sosial.
Berbagai masalah kompleks dan rumit itulah yang dicoba digambarakan oleh van Dijk. Oleh karenanya van Dijk tidak mengeksklusi modelnya hanya semata menganalisis teks. Tapi ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan berpengaruh pada teks. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempuyai tiga dimensi, diantaranya : teks, kognisi sosial, dan kontek sosial (analisis sosial). Dalam dimensi teks yang dianalisis bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari komunikator. Sedangkan, aspek analisis sosial mempelajari bagunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Namun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada dimensi teks dan analisis sosial.

1.      Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa bagian struktur yang masing-masing saling mendukung. Ia dalam hal ini membaginya dalam tiga tingkat. Pertama, struktur makro, ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks. Kedua, superstruktural yaitu merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks. Bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang diamati dari bagian terkecil dari suatu teks semisal, kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Berikut dapat diuraikan satu persatu elemen wacana model van Dijk :
Strukturwacana
Hal yang diamati
Elemen
Strukturmakro
               Tematik              
Tema/ topik yang dikedepankan dalam berita
Topik
Superstruktur

Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh
skema
Strukturmikro
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisi satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.
Latar, detil, maksud, pranggapan, nominalisasi
Strukturmikro
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih.
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Strukturmikro
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita.
Leksikon
Strukturmikro
Retoris
Bagaimana cara penekanan dilakukan.
Grafis, metafora, ekspresi

2.      Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis Van Djik pentingnya kognisi sosial yaitu kesadaran mental penulis yang membentuk teks tersebut karna setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, dan pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Disini seorang penulis tidak dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki berbagai nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapat dari kehidupannya. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model
3.      Konteks Sosial
Konteks sosial yaitu, bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk menunjukan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Ada dua poin yang penti yaitu, praktik kekuasaan (power dan akses (acces)).

B.     ANALISIS WACANA NORMAN FAIRCLOUGH
1.      HAKIKAT
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practiceText berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse practicemerupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice,dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
2.      PENDEKATAN
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
1.      Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
2.      Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
3.      Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.

3.      MODEL
Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
A.    Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis lingu­istik – analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fair­clough menadai pada semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
1.      Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
2.      Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
3.      Tema
merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.
4.      Diksi
Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.
B.     Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi ke­wacanaan (discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pe­mrosesan wacana yang meliputi aspek peng­hasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Be­berapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan pe­nyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-proses insti­tusional, Fairclough merujuk rutini­tas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibat­kan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
1.      Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
2.      Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu  sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
3.      Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.
D.    Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosio­budaya media dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se­sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya.
Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
1.      Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
2.      Institusional
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.
3.      Sosial
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
4.      CONTOH
Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Analisis Mikro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”
Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat yang me­nandai representasi tema dan tokoh yang ter­libat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari aspek kebahasaan tersebut.
1)      Pada hari terakhir festival, Wayang Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.
2)      Cerita Wahyu Cakraningrat yang pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi varian tema pementasan bersama para pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang, Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta, Surakarta, Jombang, Bali, dan Flores, serta dari Belgia, Jerman, Hongaria, Italia, Ukraina, Meksiko, dan Amerika.
3)      Ditargetkan, sebanyak 7.500 orang akan hadir.
Contoh data (1) – (3) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, Media Indo­nesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna kata bakal  yang berarti ‘sesuatu yang akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan me­miliki makna yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’.
4)      Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
5)      Mereka menampilkan kisah klasik tentang wahyu keraton, Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja.
6)      Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire,Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
7)      Bahkan, sebagian dari mereka yang sudah memiliki anak juga turut mengikuti kursus tari di Wayang Bharata.
Sedangkan contoh data (4)-(7) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana tersebut. Kata ganti yang digunakan antara lain kami dan mereka. kata ganti kami pada data (4) merujuk pada para konseptor gunungan festival. Sedangkan kata mereka pada data (5)-(7) merujuk pada para jurnalis (media pemberitaan) yang turut serta dalam gunungan festival.
8)      Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita.
Sementara itu, contoh data (8) me­rupakan contoh data pemanfaatan strategi lingu­istik yang berupa struktur kalimat. Kalimat luas pada data (8) di atas memiliki hubungan sebab-akibat yang ditandai dengan konjungsi karena di awal kalimat karena setelah induk kalimat.
9)      Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya
Sedangkan contoh data (9) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang berupa struktur kalimat yang memiliki hubungan sederajat karena ditandai dengan konjungsi dan yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat.
10)  Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
11)  Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Selain itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan substitusi persona, yakni penggantian kata ganti orang. Pada contoh data (10) kata salah satu konseptor Gunungan Festival merupakan substitusi persona dari Imam Nur Adi. Kemudian pada contoh data (11) kata sang produser adalah substitusi persona dari Trishi Setiayu.
12)  Selain aspek kebahasaan secara struktural atau gramatikal, yang tidak kalah menariknya adalah cara Media Indonesia menyuarakan inspirasi­nya melalui kutipan langsung para tokoh yang men­jadi narasumber. Berdasarkan data yang ada, se­cara kutipan langsung dapat diketahui bahwa Media Indonesia ingin menyuarakan bahwa wayang dapat dimainkan oleh siapa saja yang ingin memainkannya, sehingga mengapresiasi wayang dapat dilakukan oleh siapa pun. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data berikut:
“Wayang Jurnalis mewakili wayang orang dari Jakarta. Ternyata wayang bisa dimainkan siapa pun, tidak hanya seniman. Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.

Analisis Meso Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”
Media Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 19 Januari 1970 sebagai koran dengan jangkau­an nasional dimana koran Media Indo­nesia dapat diperoleh di 33 propinsi yang ter­sebar di 429 kabupaten / kotamadya di seluruh Indonesia. Direk­tur Utama Media Indonesia adalah Surya Paloh dan Teuku Yousli Syah se­bagai Pimpinan Redaksi.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Mark Plus Insight menempatkan Media Indo­nesia pada urutan ke-3 besar (12.22%) sebagai koran yang dibaca para eksekutif untuk meng­akses berita ekonomi dan bisnis. Readership Profile Media Indonesia adalah: 63% pria dan 37% wanita, Usia produktif 20-49 tahun (87%), Social Economic Status A1-A2-B Class (76%), Mayoritas pekerjaan White collars (44%),  Psikografis pem­baca Media Indonesia adalah western minded, optimist dan juga settled (Sumber: Media Indo­nesia online).
Visi yang diemban Harian Umum Media Indo­nesia adalah  menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya dan paling ber­pengaruh. Independen artinya adalah menjaga sikap non-partisan, dimana karyawannya tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat mempengaruhi objek­tifitas, dan mempunyai keberanian untuk bersikap beda. Inovatif berarti terus-menerus me­­nyempurnakan serta mengembangkan SDM (sumber daya manusia), serta secara terus me­nerus me­ngembangkan rubrik, halaman, dan penyempur­naan perwajahan. Lugas berarti selalu melaku­kan check dan re-check, meliput berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan in­vestigasi dan pendalaman. Ber­pengaruh berarti dengan target bahwa Media Indonesia dibaca oleh para pengambil keputus­an, memiliki kuali­tas editorial yang dapat mem­pengaruhi peng­ambilan keputusan, mampu membangun ke­mampuan antisipatif, mampu membangun net­work narasumber dan memiliki pemasaran / dis­tribusi yang handal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagai media terbesar ketiga, Media Indo­nesia  merupakan harian umum yang dapat mempengaruhi opini masyarakat Indo­nesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi teks di Media Indonesia juga bukan hanya merupakan rangkai­an yang berdiri sendiri, tetapi merupa­kan rang­kai­an institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Reali­sasi teks yang dihasilkan Media Indonesia khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival ini juga dinilai selaras dengan visi yang di­emban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh.

Analisis Makro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”
Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Fstival” ini tidak dapat dilepaskan  kontkes yang membangun pemberitaan tersebut. Dapat diketahui bersama bahwa pada saat pemberitaan berlangsung, tengah terselenggarakannya Gunungan Festival, yakni festival topeng dan wayang berskala internasional, yang keempat kalinya di Bale Pare Kota Baru Parahyangan, Padalarang, sepanjang pekan lalu, tepatnya pada 22-24 Mei 2015. Seluruh peristiwa tersebut men­dapat liputan yang luas dari berbagai media yang ada di Indonesia ter­masuk Media Indonesia.
Selain hal tersebut di atas, Gunungan Festival ini merupakan langkah untuk melestarikan kebudayaan topeng dan juga wayang yang semaki tergerus oleh modernisasi, padahal keduanya merupakan sebuah kekayaan Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Dalam festival kali ini akan mengangkat wayang sebagai tema utama dimana akan mengeksplorasi secara komprehensif, mulai dari pertunjukkan, pameran, workshop, hingga talkshow yang masing-masing akan disampaikan oleh pakarnya.
Festival ini juga melibatkan wayang jurnalis yang dipentaskan pada hari terakhir festival. Wayang jurnalis memilih untuk menampilkan kisah Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja. Kisah itu pun diinterpretasikan para jurnalis sebagai cerminan situasi politik bangsa ini. Beragam guyonan dan sindiran soal negara pun diselipkan pada naskah yang diperankan pemimpin redaksi, managing editor, hingga reporter dari lintas media. Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
Meski tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan oleh Media Indonesia, erat kaitannya dengan eksistensiMedia Indonesia dalam melestarikan warisan bangsa dengan mengikuti festival tersebut. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam pencitraan Media Indonesia. Dengan demikian, opini pembaca digiring untuk memberikan pencitraan positif padaMedia Indonesia sebagai media yang aktif dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.

E.    ANALISIS WACANA
1.      Hakikat Wacana
Wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 1987:27). Wacana merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi dalam dunia kebahasaan karena wacana merupakan salah satu unsur linguistik yang banyak digunakan di dalam dunia kebahasaan.
Bagan 1. Posisi satuan-satuan gramatikal
WACANA
KALIMAT
KLAUSA
FRASA
KATA
MORFEM
FONEM
FONA


Berdasarkan paparan di atas, maka wacana mencakup kalimat, gugus kalimat, dan paragraf. Wacana menempati posisi terbesar  dalam unsur linguistik, sehingga dalam perkembangannya, wacana dikaji secara ilmiah. Untuk lebih memperjelas, berikut adalah pengertian wacana menurut beberapa ahli.
Nama Ahli
Pengertian Wacana (discourse)
Kridalaksana
(dalam Sumarlamdkk, 2009:5).
Satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal.
JamesDeese
(dalam Sumarlamdkk, 2009:6)
Seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.
Djajasudarma
(1994:1)
Rentetan kalimat yang berkaitan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan (statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
Alwi, dkk
(2000:41)
Rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.  
Oka dan Suparno
(1994:31)
Satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap
Sumarlam, dkk
(2009:15)
Satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
2.      Hakikat Analisis Wacana menurut Para Ahli
Suwandi (2008:145) mengemukakan bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.Analisis wacana juga berkaitan dengan kajian interdisipliner, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, dan filsafat bahasa (Oka dan Suparno, 1994:263). Kaitan ini dapat diterima karena analisis wacana berkembang sedemikian rupa, sehingga keberadaannya memang melibatkan beberapa kajian lain. Para sosiolinguis memperhatikan yang berhubungan dengan interaksi sosial, terkait pula dengan penggunaan bahasa di masyarakat.
Para ahli psikolinguistik menganalisis wacana dari segi pemahaman ujaran, cara memproduksi dan menggunakan bahasa, dan pemerolehan bahasa. Para ahli filsafat bahasa mengkaji wacana dari segi semantik wacana dan unsur wacana dalam kaitannya dengan konstruksi ujaran dalam pasangan-pasangan.Analisis wacana meletakkan titik berat pada fungsi bahasa sebagai alat interaksi antara penulis dan pembaca atau antara pembicara dan pendengar (Wahab, 1998:69).Analisis wacana juga dipandang sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi (Sobur, 2002:48).
Jadi, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi semakin tampak terwadahi dengan adanya analisis wacana.Pada pokoknya, para analis wacana memikirkan datanya sebagai rekaman proses yang dinamis, di mana bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu konteks oleh seorang penulis atau seorang penutur untuk menyatakan buah pikirannya dan menyampaikan maksudnya (Wahab, 1998:56).
Analisis wacana memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1)      Bentuk kajian tentang pembahasan wacana.
2)      Bersifat alamiah baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
3)      Bersifat interpretatif-pragmatis baik bahasanya maupun maksudnya.
4)      Inferensif, yaitu mempunyai simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya.
5)      Wujud bahasa yang lebih jelas, karena didukung oleh situasi yang tepat.
6)      Upaya untuk menangkap makna dari penyapa (addressor) kepada pesapa (addressee)
7)      Upaya untuk mengetahui konstelasi kekuatan dalam proses produksi dan reproduksi makna. (Darwoto, 2014)
3.      Pandangan tentang Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan istilah umum yang banyak dipakai dari berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai paradigma/pandangan.Ada tiga pandangan mengenai bahasa, yakni sebagai berikut.
1.            Pandangan pertama, diwakili oleh kaum positivisme-empiris/strukturalis menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala. Pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran tersebut adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Sebab, yang terpenting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran tersebut tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Wacana dapat diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran sintaksis dan semantik (Rosidi, 2003:8).
2.            Pandangan kedua, yang diwakili oleh kaum konstruktivisme/ fungsionalis. Aliran ini dipengaruhi oleh fenomenologi yang menolak pandangan positivism-empiris tentang subjek dan objek bahasa dipisahkan. Aliran konstruktivisme memandang bahasa tidak lagi dipahami sebagai realitas objek belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme memandang justru subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana.
3.            Pandangan kritis, pandangan ini mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representai yang berperan dalam membentuk subjek dan tema-tema tertentu, serta strategi di dalamnya. Karena memakai respektif kritis, analisis wacan kategori ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis). (Eriyanto, 2001: 6-7)
Berdasarkan ketiga pandangan tersebut, David 1994 (dalam Arifin, 2012: 10) mengklasifikasikan menjadi dua paradigma, yaitu paradigma formal dan paradigma fungsional sebagai berikut :
STRUKTURAL
FUNGSIONAL
Struktur bahasa (kode) sebagai tata
bahasa.
Struktur tuturan sebagai cara berbicara.
Hanya sebagai alat yang dapat berkorelasi apa yang dianalisis sebagai kode mendahului analisis penggunaan
Analisis penggunaan didahulukan, kemudian analisis kode.
Fungsi referensi semantik dipakai sebagai normanya
Pengorganisasian fitur-fitur tambahan memperhatikan kode dan digunakan secara integral.
Element struktur dianalisis (perspektif historis atau universal).
Stilistik dan fungsi sosial.
Fungsi (adaptasi), ada keseimbanagan bahasa; semua bahasa pada hakikatnya sama.
Elemen dan strukturnya sebagai pendekatan etnografis
Kode bersifat homogen dan komunitas yang seragam.
Fungsi (adaptasi), bahasa bervariasi, gaya, aktual, tidak semuanya sama.

Komunitas tuturan sebagai gaya bahasa.
4.      Strategi dalam Analisis Wacana
Dalam pokok bahsan ini, Jorgensen dan Phillips (2007: 267-270) menyajikan empat strategi yang bisa digunakan dalam analisis wacana dengan berbagai pendekatan.Keempat strategi tersebut adalah sebagai berikut.
A.    Pembandingan
Yakni membandingkan dengan teks-teks lain secara teoritis didasarkan pada sudut pandangan strukturalis.
B.     Subtitusi
Yakni bentuk pembandingan analis menciptakan teks sebagai pembandingnya.Dalam strategi ini kita bergerak kea rah berlawanan dengan menyisipkan beberapa kata yang dipilih ke dalam teks, kita mendapatkan kesan bagaimana kata-kata itu mengubah makna teks dan dengan demikian kita memperoleh kesan bagaimana kata-kata yang benar dipilih itu menciptakan makna-makna tertentu dalam teks bersangkutan.
C.     Membesar-besarkan sesuatu yang terperinci
Kita bisa membesar-besarkan sesuatu yang terperinci tersebut dan kemudian menanyakan kondisi-kondisi apa yang diperlukan agar ciri tersebut masuk akal dan tentang interpretasi apa yang sekiranya secara keseluruhan cocok dengan ciri tersebut.
D.    Vokalitas ganda
Menggambarkan logika kewacanaan atau suara-suara yang berbeda dalam teks.Strategi ini didasarkan pada premis analisis wacana tentang antartekstualitas
F. Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai bahwa penelitian atas wacana tidak cukup didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya berupa hasil dari praktek produksi dimana teks-teks tersebut nerupakan bentuk proses dari kognisi sosial, sedangkan kognisi sosial sendiri merupakan bentuk dari pendekatan lapngan psikologi sosial. Pendekatan ini merupakan pendekatan analisis wacana yang menjelaskan tentang struktur dan proses terbentuknya suatu teks.

Analisis Van Djik adalah menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagian struktur teks dalam strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. pada level kognisi sosial dipelajari proses teks berita dengan melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis Van Djik di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian pada teks ke arah analisis yang kooperehensif.
Sumber :
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar