Rabu, 11 Juli 2018

HAKIKAT ANALISIS WACANA



Resum Wacana Bahasa Indonesia
HAKIKAT ANALISIS WACANA
   Oleh : Ratna Agustin
A.      Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional, piranti kohesi dan koherensi, praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis, wacana lisan dan non lisan, monoloh, dialog, pilolog, wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi.. Kali ini kita membahasa mengenai hakikat analisis wacana.
Wacana dalam kegiatan berbahasa digunakan dalam berbagai dimensi keilmuan. Setiap disiplin linguistik yang berbeda akan memanfaatkan wacana dalam mendeskripsikan kegiatan-kegiatan linguistiknya dengan memfokuskan perhatiannya pada segi-segi wacana yang berbeda. Kajian sosiolinguistik menggunakan wacana untuk membedah struktur interaksi sosial yang tertuang dalam tindak tutur atau percakapan dan deskripsinya ditekankan pada ciri-ciri konteks sosial. Sementara, kajian psikolinguistik memanfaatkan wacana untuk mendeskripsikan pemahaman bahasa yang terjadi secara psikologi eksperimental. Proses pemerolehan dan memproduksi bahasa secara mental dipahami dengan mengkaji wacana baik secara tertulis maupun lisan.
B.     KONSEP ANALISIS WACANA
Schriffin menjabarkan empat asumsi analisis wacana, yaitu tersebut adalah Bahasa selalu terjadi dalam konteks, Bahasa dipengaruhi oleh konteks, Bahasa selalu bersifat komunikatiif, dan Bahasa dirancang untuk komunikasi.
1)      Bahasa selalu terjadi dalam konteks
Asumsi yang pertama adalah bahasa selalu terjadi di dalam konteks. Hal ini dibuktikan oleh banyak penelitian sosiolinguistik dan psikolinguistik yang mengatakan bahwa bahasa diproduksi dan ditafsirkan dalam berbagai konteks tertentu. Hal ini send dengan yang disampaikan oleh Halliday dan Hassan yang mengatakan bahwa “Context is something that accompanying text”. Kehadiran sebuah teks atau bahasa harus selalu disertai dengan konteks dimana bahasa itu digunakan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana, bahasa yang ditelaah dalam sebuah wacana harus dikaitkan dengan konteks penggunaanya. Pemahaman yang tepat akan sebuah wacana hanya akan didapat dengan memberikan konteks yang sesuai.
Kleden dalam Sudaryat mendefinisikan konteks sebagai ruang dan waktu spesifik yang dihadapi oleh seseorang atau sekelompok orang. Konteks dapat juga diartikan sebagai seting atau latar yang menjabarkan suatu keadaan, tempat, dan waktu dimana dan kapan sebuah bahasa digunakan. Schriffin membedakan konteks menjadi tiga, yaitu konteks budaya, konteks sosial, dan konteks kognitif. Konteks budaya berhubungan dengan makna bersama dan pandangan dunia (paradigma). Konteks sosial berhubungan dengan definisi diri dan situasi yang dikonstruksikan. Sementara konteks kognitif berhubungan dengan mengaitkan pengalaman masa lalu dan pengetahuan. Pemahaman tentang bagaimana bahasa digunakan dan dibangun bergantung kepada pertimbangan bagaimana bahasa itu dikaitkan di dalam berbagai konteks.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa selalu terjadi di dalam konteks. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, setiap satuan bahasa yang menjadi bahan kajian dalam analisis wacana harus selalu dikaitkan dengan konteks. Penggunaan konteks yang tepat akan mempengaruhi pemahaman seseorang tentang sebuah bahasa atau wacana. Konteks dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu konteks budaya, sosial, dan kognitif.
2. Bahasa dipengaruhi oleh konteks (context sensitive)
Selain selalu terjadi di dalam konteks, bahasa baik dari segi bentuk dan fungsi sangat dipengaruhi oleh karakteristiks konteks-konteks yang disebutkan di bagian sebelumnya. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara bahasa dan konteks yang masuk ke dalam semua tingkatan bahasa baik struktur luar ataupun struktur dalam (surface structure dan deep structure). Istilah struktur luar dan struktur dalam itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh Chomsky pada tahun 1957 dalam konsep transformasi generatif yang menjelaskan proses tranformasi bahasa dari  pemahaman atau kemampuan seorang penutur tentang kaidah-kidah suatu bahasa (kompetensi) kepada penerapan kaidah-kaidah bahasa tersebut di dalam proses berkomunikasi (performansi).
Teori ini diperkuat oleh Mulyana yang mengatakan bahwa konteks merupakan sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/ dialog. Semua hal yang berhubungan dengan tuturan, baik arti, maksud, maupun informasinya sangat bergantung kepada konteks yang melatar belakangi peristiwa tuturan tersebut. Contoh pengaruh konteks dalam bahasa dapat terlihat dari ilustrais di bawah ini :
Situasi 1
Seorang perempuan yang sedang menunggu kedatangan teman yang datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan “cepat sekali kamu sampai”.
Situasi 2
Seorang perempuan yang sedang menunggu kedatangan teman yang terlambat dari waktu yang dijanjikan “cepat sekali kamu sampai”.
Kalimat “cepat sekali kamu sampai” pada dua situasi di atas memiliki bentuk dan struktur yang sama namun memiliki makna yang berbeda. Pada situasi yang pertama, kalimat “cepat sekali kamu sampai” menyatakan makna yang sebenarnya yaitu keheranan penutur akan kedatangan temannya yang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Sedangkan kalimat “cepat sekali kamu sampai" pada situasi kedua menyatakan sndiran penutur terhadap temannya. Interpretasi makna yang berbeda dari kalimat tersebut disbabkan oleh adanya perbedaan konteks bahasa yang digunakan.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa selalu dipengaruhi oleh konteks. Semua hal yang berkaitan dengan bahasa baik bentuk, struktur, makna, dan fungsi sangat bergantung kepada konteks yang melatar belakangi proses bahasa tersebut diproduksi dan diinterpretasikan. Penggunaan konteks yang berbeda akan memberikan interpretasi makna yang berbeda dari bahasa yang sama.
3. Bahasa selalu bersifat komunikatif
Bahasa selalu bersifat komunikatif karena bahasa selalu ditujukan kepada penerima pesan. Penerima pesan dapat berupa penerimaan yang nyata (actual) dan yang dimaksudkan (intended). Beberapa ahli berpendapat bahwa komunikasi hanya dapat terjadi sesuai kehendak pembicara. Ekman dan Freisen (1969) membedakan pesan menjadi dua, informatif dan komunikatif. Pesan informatif adalah pesan yang berisi informasi faktual yang dikirim kepada penerima. Sementara pesan komunikatif adalah pesan yang tidak harus informatif namun memiliki sifat interaktif yaitu pesan yang mengubah sikap seseorang meskipun tidak mendapat interpretasi yang sama dan juga tidak secara sadar ditujukan oleh penutur pesan.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Brown dan Yule yang mengatakan bahwa bahasa memiliki dua fungsi yaitu transaksional dan interaksional. Secara transaksional, fungsi bahasa mengungkapkan isi yang berupa informasi faktual yang memuat pesan dari pembicara kepada pendengar. Sementara, fungsi interaksional pada pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi yang berguna untuk memelihara dan menjaga hubungan-hubungan sosial.
Dari fungsi bahasa di atas, wacana dapat dipandang secara luas, karena tidak hanya memuat informasi faktual, tetapi juga hubungan sosial yang menjadi konteks terjadinya wacana. Upaya untuk memahami wacana secara luas inilah dilakukan dalam bentuk analisis wacana. Wacana dan analisis wacana merupakan dua hal yang saling bersinergi, jika wacana pada tataran bentuk linguistinya, maka analisis wacana lebih luas memandang wacana dari sisi konteksnya. Nunan (2003) menjelaskan “the study of discourse is the study of the relationship between language and its contexts of use”. Dalam pemahaman yang lebih luas, Cook  menjelaskan analisis wacana menguji bagaimana rangkaian bahasa yang dimaknai dalam konteks tekstual yang sempurna, konteks sosial, dan psikologis menjadi satu kesatuan yang bermakna dalam penggunaannya.
Mc.Kay (1972) membagi komunikasi menjadi dua yaitu komunikasi yang mengarah kepada tujuan ( goal-directed ) yaitu komunikasi yang perlu memiliki tujuan dan diinterpretasikan atau komunikasi terpimpin ( conduct ) yaitu komunikasi yang tidak memiliki tujuan dan tidak diinterpretasikan. Hal senada juga disampaikan oleh Grice (1957) yang dikenal dengan konsep -nn. -nn merupakan singkatan dari non-natural meaning (makna yang tidak alami) yaitu situasi dimana pembicara mengharapkan makna tetapi mendapat respon dan interpretasi sesuai yang disadari oleh penerima. Pandangan yang lebih luas tentang komunikasi  disampaikan oleh Ruesch dan Bateson (1951) dan Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967) bahwa apapun yang terjadi pada kehadiran pengirim dan penerima bersifat komunikatif; selama pesan yang disampaikan dapat tersedia untuk orang lain dalam domain yang sama, tidak perlu diharapkan sebagai pesan untuk dapat dinilai sebagai komunikasi. Goffman (1959) membedakan informasi yang sebenarnya dan tidak sebenarnya. Informasi yang sebenarnya adalah komunikasi yang sesuai dengan makna (diharapkan dan diterima), sementara informasi yang tidak sebenarnya adalah informasi yang diinterpretasikan maknanya dan dicari artinya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimulan bahwa bahasa selalu bersifat komunikatif. Hal ini didasarkan bahwa bahasa selalu ditujukan kepada penerima pesan. Terdapat dua macam pesan yang disampaikan dalam bahasa yaitu informatif dan komunikatif. pesan informatif adalah pesan yang menyampaikan informasi faktual sedangkan pesan komunikatif adalah pesan yang akan membangun interaksi antara penutur dan penerima pesan. Hal ini sesuai dengan dua fungsi bahasa yaitu fungsi transaksional dan interpersonal. Fungsi transaktional adalah fungsi bahasa yang terkait dengan pesan informatif dan fungsi interaksional adalah fungsi bahasa yang berkaitan dengan fungsi komunikatif.
4. Bahasa dirancang untuk komunikasi
Asumsi yang keempat adalah bahasa dirancang untuk mencerminkan dasar komunikasinya. Hal ini didasarkan pada fitur bahasa yang dibahas oleh Hocket (1958) yang menyatakan bahwa bahasa dapat digunakan sebagai sistem komunikasi dan dapat memudahkan seseorang dalam memahami sesuatu hal. Bahasa merupakan alat komunikasi yang utama bagi manusia.  Bahasa digunakan untuk menyampaikan semua perasaan, pikiran, dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang kepada orang lain.
Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa proses komunikatif dapat memunculkan dan mengembangkan struktur sintaksis. Penelitian sosilonguistik juga membuktikan bahwa komunikasi pada grup-grup tertentu dapat mempengaruhi perubahan sistem bunyi suatu bahasa. Selain itu, terdapat beberapa fitur bahasa yang dirancang untuk memudahkan proses komunikasi. Beberapa fitur bahasa yang digunakan untuk mempermudah komunikasi adalah redundansi, pilihan istilah referensi, dan penyusunan informasi dalam kalimat. Salah satu fitur bahasa yang dirancang untuk mempermudah komunikasi adalah pengulangan kata (redundansi). Zaimar dan Harahap menyebutkan bahwa redundansi dapat terjadi dalam beberapa bentuk yaitu pengulangan makna dalam kosakata, sintaks, mimik, dan gerakan tubuh. Tujuan digunakannya redundansi dalam komunikasi adalah untuk memberikan penekanan atau memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimulan bahwa bahasa dirancang untuk komunikasi. Bahasa dignaran untuk mempermudah proses penyampaian pesan.
Beberapa fitur bahasa yang dapa digunakan untuk mempermudah proses komunikasi adalah redundansi, pilihan istilah referensi, dan penyusunan informasi dalam kalimat.
C.       PROPERTI WACANA
Pada dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis. Wacana berdasarkan pandangan structural dipandang sebagai satuan bahasa di atas kalimat. Bahasa pada tataran ini sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang lebih kecil pada tataran klausa dan kalimat. Pandangan fungsional (makna) memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaannya, dalam hal ini wacana dipandang sebagai alat komunikasi.Pandangan yang terakhir yaitu pandangan dialektis (Action) memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur).
Berdasarkan sudut pandang terhadap wacana tersebut kemudian lahir analisis wacana struktural, fungsional (makna), dan dialektis (action). Cara pandang yang berbeda membuat focus analisis ketiga analisis wacana tersebut juga berbeda. Analisis wacana struktural memfokuskan kajiannya pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana.Analisis wacana fungsional memfokuskan analisisnya pada penggunaan bahasa senyatanya sebagai alat komunikasi.Terakhir, analisis wacana dialektis yang focus kajiannya pada struktur bahasa dan konteks.
Ketiga analisis wacana tersebut memiliki piranti analisis yang berbeda sesuai dengan fokus kajiannya masing-masing. Untuk mengetahui piranti-piranti apa saja yang dianalisis dalam ketiga analisis wacana tersebut dalam makalah ini akan mencoba menguraikannya. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman akan piranti-piranti analisis yang terdapat dalam ketiga analisis wacana tersebut pembaca dapat semakin memahami piranti-piranti apa yang perlu dianalisis dalam ketiga analisis wacana tersebut. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman akan perbedaaan ketiga analisis wacana tersebut.
Sebagai mana Deborah mengatakan bahwa piranti – piranti  wacana terdiri dari struktur, pemaknaan, dan tindakan.[18] Ini akan menjadi jelas bahwa piranti ini mengandung  aspek yang sedikit berbeda dengan  piranti yang lain. Dua piranti wacana pertama sebagian besar berkaitan dengan wacana yang sebagian urutannya panang, proposisi, ucapan-ucapan. Jenis wacana ketiga adalah lebih menekankan pada aspek bahasa seperti yang digunakan dalam interaksi sosial, termasuk sebagai pembicara menggunakan tidak hanya dari urutan yang lebih panjang, namun penggunaan satu unit. Contoh ucapan. Dalam interaksi sosial. Dengan memeriksa hubungan antara jenis-jenis wacana.
1.      a) Piranti Analisis Wacana Struktural
Van Dijk (1972), mengklaim bahwa teks merupkan perluasan dari kalimat dan tata bahasa pada teks dapat ditulis pada bentuk yang sama sebagai kalimat tata bahasa generatif. Dalam teks seperti tata bahasa.suatu  wacana akan ditentukan oleh seperangkat aturan dengan kriteria formal untuk interpretability kalimat dalam teks, Beberapa penelitian mengambil pendekatan yang lebih liberal faktor non-tekstual dalam hasil penelitian mereka yang merupakan wacana struktur . mencerminkan isi informasi dan struktur apa yang sedang dibicarakan
Selain itu pandangan struktural juga memandang wacana sebagai sebuah satuan bahasa yang lengkap, terbesar, dan tertinggi yang berada di atas kalimat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang lengkap.Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea).Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan formal.
Pandangan formal tersebut kemudian melahirkan analisis wacana struktural.Analisis wacana ini seluruhnya terfokus pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana. Berikut akan dipaparkan secara rinci piranti analisis wacana struktural tersebut.
1)      Topik
Topik berarti ―pokok pembicaran, pokok permasalahan, atau masalah yang dibicarakan Finoza Istilah topik juga dapat didefinisikan ke dalam beberapa pengertian yang bebeda yaitu(1) frasa dalam satu klausa yang terpahami, (2) frasa dalam satu wacana yang terpahami, (3) memiliki posisi khusus dalam satu wacana.
Topik merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah wacana.Dikatakan demikian karena topik memuat bagian inti atau perihal yang dibicarakan dalam sebuah wacana.Topik menunjukkan informasi paling penting atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.Secara keseluruhan sebuah wacana memiliki sebuah topic
2) Tuturan Pengungkap Topik
Tuturan pengungkap topik menurut Gillian Brown dan George Yule disebut kerangka topik . Ujaran-ujaran tersebut memiliki arah untuk menuju bagaimana sebuah topik bisa diungkap.Topik itu bisa diungkap berdasarkan unsur-unsur kerangka topik.Unsur –unsur tersebut adalah orang, tempat, wujud, peistiwa, fakta.Dengan unsur-unsur tersebut sebuah topik wacana dapat diungkap.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa tuturan pengungkap topik adalah ujaran-ujaran yang dapat mengarahkan kita pada pengungkapan topik dalam sebuah wacana.dengan kata lain tutran pengembang topik tersebut berpusat pada topik untuk menciptakan kesatuan gagasan dalam sebuah wacana. Adanya tuturan pengungkap topikyang menyeleweng dari topik hendaknya dihindari.Untuk itu langkah yang harus ditempuh ialah perumusan butir-butir pengembangan secara ringkas di bawah topik, sehingga terbentuk wacana yang apik. Gagasan yang terkandung dalam tuturan pengungkap topik pada dasarnya merupakan pengungkapan dari :
1) Apa yang akan dibicarakan‖ dengan mengajukan pernyataan sehubungan dengan ‗apa yang dibicarakan‘.
2) Jawaban ringkas yang dapat dijadikan butir-butir pengembanganya. Adapun pertanyaan yang dapat diajukan itu ialah mengenai ‗bagaimana‘. ‗mengapa‘, dan pertanyaan lain yang relevan.
3) Langkah selanjutnya adalah mengecek apkah butir-butir itu sudah lengkap ataukah masih ada yang terlewatkan, dan kemudian menyusun kembali butir-butir itu dalam susunan yang dipandang paling tepat.
3) Kohesi dan Koherensi
Piranti analisis wacana structural yang ketiga adalah kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi merupakan salah satu unsur pembentuk wacana yang sangat penting. Menurut Rani dkk Aspek kohesi akan merangkai hubungan anatarbagian dalam wacana yang ditandai dengan penggunaan bahasa, sedangkan aspek koherensi merupakan kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana.Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca, berikut disajikan pemaparan mengenai kedua aspek tersebut.
2.      Piranti Analisis Wacana Fungsional (Meaning)
Halliday dan hasan berpendapat misalnya, bahwa meskipun struktur mungkin menjadi salah satu sumber definisi teks sumber bahwa genre tertentu dari teks berbagi dengan kalimat sumber yang lebih menarik adalah pada tingkat hubungan semantik yang mendasari teks. Dengan demikian, barang-barang tertentu seperti kami ganti, kata keterangan, dan konjungsi membantu menciptakan wacana bukan karena aturan diatur distribusi mereka, tetapi karena mereka menunjukkan link penafsiran antara dua bagian dalam teks. Dan meskipun kita dapat mengenali elemen kohesif dengan penampilan permukaannya dalam huruf a, apa elemen seperti itu benar-benar menampilkan hubungan antara isi proposisional mendasari dua klausa penyebab di mana unsur muncul dan klausa sebelumnya. Singkatnya, link kohesif didirikan karena interpretasi elemen dalam satu klausul mengandaikan informasi dari klausa sebelumnya.
Analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional.Pendekatan fungsional merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahasa sebagai sistem terbuka.Artinya, bahasa mempunyai sistem yang dapat berubah; sifat bahasa heterogen, yaitu bervariasi, berbeda penggunaannya bergantung konteksnya, seperti penutur dan lawan tutur, tujuan, tempat, dan waktunya; fokus deskripsi pada fungsi bahasa, yaitu maksud dan tujuan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi.
Analisis wacana yang didasarkan pada pandangan fungsional ini difokuskan pada terhadap penggunaan bahasa berupa tuturan dalam penggunaan bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, piranti analisis wacana berdasarkan pandangan ini yaitu (1) Tuturan pengungkap maksud, (2) Maksud/ fungsi tuturan(tindak tutur), (3) strategi penyampaian tindak tutur, (4) prinsip penggunaan bahasa (5) Komponen Percakapan.
a)      Tututuran Pengungkap Maksud
Seperti yang sudah diungkap sebelumnya bahwa analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional yang bersifat terbuka dan analisisnya difokuskan pada penggunaan bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Proses komunikasi dapat kita pahami sebagai proses penyampaian pesan dari penutur kepada mitra tutur. Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa tuturan – tuturan dalam proses komunikasi merupakan sebuah sarana pengungkap maksud yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur dalam proses komunikasi.
Dalam analisis wacana fungsional tuturan – tuturan yang mengungkap maksud tersebutlah yang dianalisis. Misalnya apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat.
Untuk menyampaikan makna atau maksudnya itu, penutur harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang dipilih tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain: dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa ia akan menyampaikan ujaranya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakannya.
b)      Maksud/ Fungsi Tuturan (Tindak Tutur)
Setiap tuturan yang hadir dalam proses komunikasi bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Setiap tuturan (tindak tutur) tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam penggunaannya.Fungsi tersebut tampak jelas dari maksud yang disampaikan penutur melalui tuturannya.Untuk menganalisis maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut perlu dipahami beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) yang ada.Berikut diuraikan beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut.
2)      Strategi Penyampaian Tuturan
Putu Wijana&M. Rohmaji menjelaskan, berdasarkan strategi penyampaiannya, jenis tindak tutur dapat dibagi menjadi.empat bagian. Yaitu:
1.      Tindak Tutur Langsung
Tindak tutur langsung terbentuk bila kalimat difungsikan secara konvensional. Misalnya kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya.
Contoh.
(1)   Mia makan roti
Tuturan di atas menggambarkan penyampaiannya di lakukan secara langsung dari sang penutur kepada lawan tuturnya.Tuturan di atas menggambarkan kalimat berita yang secara langsung menyampaikan bahwa Mia sedang makan roti.
c. Tindak Tutur Tidak langsung
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawabsecara langsung, tetapi harus segera melaksanakan maksud yang terimplikasi dari tuturan tersebut. Berbanding terbalik dengan tuturan langsung yang dijelaskan di atas, tuturan tidak langsung biasanya tersampaikan secara lebih sopan. Misalnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan menggunakan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bila hal ini yang terjadi, maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).
Contoh.
(1)   Kamu sudah makan siang?
Tuturan (1) bila diucapkan kepada seseorang sebenarnya bukan sekedar bertanya apakah lawan tutur memiliki sudah makan, tetpi lebih dimaksudkan untuk mengajak lawan tutur untuk makan siang bersama.
(2)   Tindak tutur literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
Masakanmu sangat enak
Tuturan di atas benar-benar bermaksud memuji bahwa masakan yang ia cicipi benar-benar enak.
(3)   Tindak tutur tidak litera
Tindak tutur tidak literal (nonliteral peech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1)    Masakanmu sangat enak, tapi lebih baik kamu jangan menjadi koki.
Tuturan (1) menggambarkan sang penutur mengatakan masakan lawan tuturnya tidak enak sehingga lebih baik tidak usah menjadi koki , walaupun diawali dengan kalimat memuji.
Piranti Analisis Wacana Dialektis (Action)
Menurut Deborah dalam bukunya dikatakan bahwa Struktur dan makna merupakan piranti analisis wacana yang mempertimbangkan pada segi linieritas dari bagian contohnya adalah kalimat,teks kata depan.. Meskipun tindakan – atau lebih akurat tindakan yang di selesaikan ini juga merupakan piranti analisis  wacana, piranti itu adalah piranti  yang muncul tidak jauh dari pengaturan unit yang mendasari   pembicara dan yang diambil dan ditindaklanjuti oleh para pendengar. dan dari cara inilah bahasa yang digunakan dalam cara tujuan yang ada.
Analisis wacana dialektis lahir dari paradigma dialektika yang memandang bahasa sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Dengan demikian,Arifin mengatakan bahwa, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus di perhatikan pada saat menyusun suatu ujaran.
Piranti analisis wacana dialektis ( wacana kritis) ini meliputi (1) ‗common sense‘ dan ‗ideologi‘ (2) asumsi yang implisit, koherensi, dan Inferensi, (3) Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur wacana (supra, mikro, dan makro).
1)      Common Sense’ dan Ideologi
Menurut Fairclough dan Wodak(dalam Erianto, 2001:7) analisis wacana kritis melihat wacana – pemakai bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara pristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan repsroduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang anatara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagi contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya.Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaaan yang terjadi di dalam masyarakat terjadi.
2)      Asumsi yang Implisit, Koherensi dan Inferensi
Seperti analisis wacana pada umumnya, AWK juga menggunakan piranti seperti asumsi yang implisit, koherensi, dan inferensi untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan dekat sekali dengan kenyataan atau dengan makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis.Untuk lebih memahami piranti ini, berikut dipaparkan sebuah contoh.
3)      Interpretasi Pembaca dan Penulis
Ketika seorang pembaca membaca sebuah wacana, secara tidak langsung pembaca tersebut ingin mengetahui sesuatu yang ditulis oleh penulisdan apabila mungkin menginterpretasikan apa saja yang dimaksud oleh penulis dalam wacana tersebut. Kondisi sosial tersebut menghubungkan ke tingkat organisasi sosial yang berbeda, yaitu tingkat situasi sosial atau lingkungan sosial tempat suatu wacana terjadi; tingkat lembaga sosial yang merupakan matriks wacana yang lebih luas; dan tingkat sosial secara keseluruhan. Jadi, apabila bahasa dilihat sebagai wacana dan praktik sosial, seseorang perlu melihatnya sebagai analisis tentang hubungan antara teks, proses dan kondisi sosial, baik kondisi yang erat hubungannya dengan konteks situasi maupun kondisi yang lebih jauh yang berhubungan dengan kondisi lembaga dan struktur sosial. Secara singkat dapat disebutkan sebagai hubungan antara teks, interaksi, dan konteks.
Moeliono (2000:117) juga mengungkapkan bahwa interpretasi pembaca sebenarnya tidak jauh dari makna yang dikemukakan oleh penulis atau sering disebut produser; tentunya produser dari teks tertentu. Produder teks sebenarnya sebelum menulis juga menginterpretasikan dunia nyata atau sesuatu yang terjadi ke dalam tulisannya. Jadi bisa dikatakan bahwa interpretasi pembaca tiada lain adalah interpretasi dari suatu interpretasi. Jadi sebenarnya interpretasi pembaca kurang lebih merupakan kombinasi antara apa yang tertulis di dalam teks dan apa yang ada di dalam benak pembaca atau penginterpreter itu. Secara rinci tahapan interpretasi itu dapat diumpamakan sebagai berikut :
1.      Tuturan yang ada di permukaan. Tingkat interpretasi pertama ini menghubungkan proses peginterpretasian bunyi atau huruf yang dapat dibaca di dalam teks ke dalam kata-kata atau kalimat-kalimat. Hal ini tergantungpada pengetahuan penginterpreter tentang fonologi, tata bahasa, dan kosakata
2.      Makna tuturan. Bagian ini memberi makna bagi setiap konstituen dalam teks dan bagian-bagiannya. Interpreter di sini mencari makna dengan jalan mengombinasikan antara arti kata-kata dan tata bahasa, termasuk juga mencari arti implisit yang tertera di dalam teks.
3.      Koherensi lokal. Tingakt ketiga mennetukan hubungan antara tuturan-tuturan untuk menghasilkan interpretasi yang koheren, yaitu koherensi yang berkenan dengan bagian-bagian teks.
4.      Struktur teks dan makna keseluruhan. Di tingkat ini diinterpretasikan seluruh makna teks itu dengan tidak lupa mempertimbangkan skemata yang diketahui.

4)      Struktur Wacana (Supra, Mikro, dan Makro)
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan. Petama, struktur makro.Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu wacana. Kedua, unsur suprastruktur. Unsur ini merujuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau wacana yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.Ketiga,unsur struktur mikro. Unsur mikro merujuk pada makna setempat (local meaning) suatuwacana. Unsur ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspeksemantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud, pengandaian, sertanominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frase dan ataukalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, sertapemilihan sejumlah kata ganti (pronouns). Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gayayang digunakan oleh pelaku wacana.
Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresiyang digunakan.
Lebih lanjut Van Dijk mengungkapkan, meskipun sebuah wacana terdiri dari atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Kita bisa membuat ilustrasi pemberitaan kasus Maluku. Misalnya Koran A mengatakan bahwa kasus ini karena pertentangan antar agama. Tema ini akan didukung oleh skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mengandung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peritiwa tersebut semata pada masalah konflik antara islam dan Kristen.
Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa peristiwa Maluku hanya kasus agama semata. Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida.Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu.

D.      Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai bahwa Analisis wacana merupakan merupakan sebuah area bidang studi yang luas dan memiliki berbagai makna yang salah satunya dapat ditinjau dari dua buah pengertian. Asumsi utama tentang bahasa yang menjadi pusat analisis wacana berhubungan dengan konteks dan komunikasi. Terdapat  empat asumsi analisis wacana, yaitu tersebut adalah Bahasa selalu terjadi dalam konteks, Bahasa dipengaruhi oleh konteks, Bahasa selalu bersifat komunikatiif, dan Bahasa dirancang untuk komunikasi. Asumsi-asumsi ini menimbulkan pandangan yang berbeda dalam analisis wacana.  Pada dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis. Hubungan antara struktur, makna, dan tindakan dalam analisis wacana menyatakan beberapa sifat dalam wacana tidak menyatu namun tidak satu pun dari sifat-sifat ini (struktur, makna, dan tindakan) dapat dipahami tanpa memperhatikan sifat yang lain.
Sumber :
Brown dan Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Brown, Gillian and George Yule. 1986. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Cook, Guy. 2009. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Dijk,Teun A. Van. 1972.  News as Discourse. New Jerresey:Lawrence Elbaum Associate.
Firoza, Lamminudin, 2010. Komposisi Bahasa. Indonesia Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Halliday dan Hassan. 1985. Language, context, and text.  London: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar