Resum Wacana
Bahasa Indonesia
HAKIKAT ANALISIS WACANA
Oleh
: Ratna Agustin
A.
Pendahuluan
Pada
pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacana, prasyarat wacana, dan
teks, koteks dan konteks, toeri tindak tutur, sosioinguistik interaksional,
piranti kohesi dan koherensi, praanggapan, implikatur dan infereksi dieksis,
wacana lisan dan non lisan, monoloh, dialog, pilolog, wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi,
persuasi dan narasi.. Kali ini kita membahasa mengenai hakikat analisis wacana.
Wacana dalam
kegiatan berbahasa digunakan dalam berbagai dimensi keilmuan. Setiap disiplin
linguistik yang berbeda akan memanfaatkan wacana dalam mendeskripsikan
kegiatan-kegiatan linguistiknya dengan memfokuskan perhatiannya pada segi-segi
wacana yang berbeda. Kajian sosiolinguistik menggunakan wacana untuk membedah
struktur interaksi sosial yang tertuang dalam tindak tutur atau percakapan dan
deskripsinya ditekankan pada ciri-ciri konteks sosial. Sementara, kajian
psikolinguistik memanfaatkan wacana untuk mendeskripsikan pemahaman bahasa yang
terjadi secara psikologi eksperimental. Proses pemerolehan dan memproduksi
bahasa secara mental dipahami dengan mengkaji wacana baik secara tertulis
maupun lisan.
B. KONSEP ANALISIS WACANA
Schriffin menjabarkan
empat asumsi analisis wacana, yaitu tersebut adalah Bahasa selalu terjadi dalam
konteks, Bahasa dipengaruhi oleh konteks, Bahasa selalu bersifat komunikatiif,
dan Bahasa dirancang untuk komunikasi.
1) Bahasa
selalu terjadi dalam konteks
Asumsi yang pertama
adalah bahasa selalu terjadi di dalam konteks. Hal ini dibuktikan oleh banyak
penelitian sosiolinguistik dan psikolinguistik yang mengatakan bahwa bahasa
diproduksi dan ditafsirkan dalam berbagai konteks tertentu. Hal ini send dengan yang disampaikan oleh
Halliday dan Hassan yang mengatakan bahwa “Context is something that
accompanying text”. Kehadiran
sebuah teks atau bahasa harus selalu disertai dengan konteks dimana bahasa itu
digunakan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana, bahasa yang ditelaah dalam
sebuah wacana harus dikaitkan dengan konteks penggunaanya. Pemahaman yang tepat
akan sebuah wacana hanya akan didapat dengan memberikan konteks yang sesuai.
Kleden dalam
Sudaryat mendefinisikan konteks sebagai ruang dan waktu spesifik yang dihadapi
oleh seseorang atau sekelompok orang. Konteks dapat juga diartikan sebagai
seting atau latar yang menjabarkan suatu keadaan, tempat, dan waktu dimana dan
kapan sebuah bahasa digunakan. Schriffin membedakan konteks menjadi tiga, yaitu
konteks budaya, konteks sosial, dan konteks kognitif. Konteks budaya
berhubungan dengan makna bersama dan pandangan dunia (paradigma). Konteks
sosial berhubungan dengan definisi diri dan situasi yang dikonstruksikan.
Sementara konteks kognitif berhubungan dengan mengaitkan pengalaman masa lalu
dan pengetahuan. Pemahaman tentang bagaimana bahasa digunakan dan dibangun
bergantung kepada pertimbangan bagaimana bahasa itu dikaitkan di dalam berbagai
konteks.
Berdasarkan
teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa selalu terjadi di dalam konteks.
Dalam kaitannya dengan analisis wacana, setiap satuan bahasa yang menjadi bahan
kajian dalam analisis wacana harus selalu dikaitkan dengan konteks. Penggunaan
konteks yang tepat akan mempengaruhi pemahaman seseorang tentang sebuah bahasa
atau wacana. Konteks dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu konteks budaya,
sosial, dan kognitif.
2. Bahasa
dipengaruhi oleh konteks (context sensitive)
Selain
selalu terjadi di dalam konteks, bahasa baik dari segi bentuk dan fungsi sangat
dipengaruhi oleh karakteristiks konteks-konteks yang disebutkan di bagian
sebelumnya. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara bahasa dan
konteks yang masuk ke dalam semua tingkatan bahasa baik struktur luar ataupun
struktur dalam (surface structure dan deep structure). Istilah struktur luar dan
struktur dalam itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh Chomsky pada tahun
1957 dalam konsep transformasi generatif yang menjelaskan proses tranformasi
bahasa dari pemahaman atau kemampuan seorang penutur tentang kaidah-kidah
suatu bahasa (kompetensi) kepada penerapan kaidah-kaidah bahasa tersebut di
dalam proses berkomunikasi (performansi).
Teori ini
diperkuat oleh Mulyana yang mengatakan bahwa konteks merupakan sebab dan alasan
terjadinya suatu pembicaraan/ dialog. Semua hal yang berhubungan dengan
tuturan, baik arti, maksud, maupun informasinya sangat bergantung kepada
konteks yang melatar belakangi peristiwa tuturan tersebut. Contoh pengaruh
konteks dalam bahasa dapat terlihat dari ilustrais di bawah ini :
Situasi 1
Seorang
perempuan yang sedang menunggu kedatangan teman yang datang lebih awal dari
waktu yang dijanjikan “cepat sekali kamu sampai”.
Situasi 2
Seorang
perempuan yang sedang menunggu kedatangan teman yang terlambat dari waktu yang
dijanjikan “cepat sekali kamu sampai”.
Kalimat
“cepat sekali kamu sampai” pada dua situasi di atas memiliki bentuk dan
struktur yang sama namun memiliki makna yang berbeda. Pada situasi yang
pertama, kalimat “cepat sekali kamu sampai” menyatakan makna yang sebenarnya
yaitu keheranan penutur akan kedatangan temannya yang lebih cepat dari waktu
yang dijanjikan. Sedangkan kalimat “cepat sekali kamu sampai" pada situasi
kedua menyatakan sndiran penutur terhadap temannya. Interpretasi makna yang
berbeda dari kalimat tersebut disbabkan oleh adanya perbedaan konteks bahasa
yang digunakan.
Berdasarkan
teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa selalu dipengaruhi oleh konteks.
Semua hal yang berkaitan dengan bahasa baik bentuk, struktur, makna, dan fungsi
sangat bergantung kepada konteks yang melatar belakangi proses bahasa tersebut
diproduksi dan diinterpretasikan. Penggunaan konteks yang berbeda akan
memberikan interpretasi makna yang berbeda dari bahasa yang sama.
3. Bahasa selalu bersifat
komunikatif
Bahasa
selalu bersifat komunikatif karena bahasa selalu ditujukan kepada penerima
pesan. Penerima pesan dapat berupa penerimaan yang nyata (actual) dan yang
dimaksudkan (intended). Beberapa ahli berpendapat bahwa komunikasi hanya dapat
terjadi sesuai kehendak pembicara. Ekman dan Freisen (1969) membedakan pesan
menjadi dua, informatif dan komunikatif. Pesan informatif adalah pesan yang
berisi informasi faktual yang dikirim kepada penerima. Sementara pesan
komunikatif adalah pesan yang tidak harus informatif namun memiliki sifat interaktif
yaitu pesan yang mengubah sikap seseorang meskipun tidak mendapat interpretasi
yang sama dan juga tidak secara sadar ditujukan oleh penutur pesan.
Hal ini
senada dengan yang disampaikan oleh Brown dan Yule yang mengatakan bahwa bahasa
memiliki dua fungsi yaitu transaksional dan interaksional. Secara
transaksional, fungsi bahasa mengungkapkan isi yang berupa informasi faktual
yang memuat pesan dari pembicara kepada pendengar. Sementara, fungsi
interaksional pada pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap
pribadi yang berguna untuk memelihara dan menjaga hubungan-hubungan sosial.
Dari fungsi
bahasa di atas, wacana dapat dipandang secara luas, karena tidak hanya memuat
informasi faktual, tetapi juga hubungan sosial yang menjadi konteks terjadinya
wacana. Upaya untuk memahami wacana secara luas inilah dilakukan dalam bentuk
analisis wacana. Wacana dan analisis wacana merupakan dua hal yang saling
bersinergi, jika wacana pada tataran bentuk linguistinya, maka analisis wacana
lebih luas memandang wacana dari sisi konteksnya. Nunan (2003) menjelaskan “the
study of discourse is the study of the relationship between language and its
contexts of use”. Dalam pemahaman yang lebih luas, Cook menjelaskan
analisis wacana menguji bagaimana rangkaian bahasa yang dimaknai dalam konteks
tekstual yang sempurna, konteks sosial, dan psikologis menjadi satu kesatuan
yang bermakna dalam penggunaannya.
Mc.Kay
(1972) membagi komunikasi menjadi dua yaitu komunikasi yang mengarah kepada
tujuan ( goal-directed ) yaitu komunikasi yang perlu memiliki tujuan dan
diinterpretasikan atau komunikasi terpimpin ( conduct ) yaitu komunikasi
yang tidak memiliki tujuan dan tidak diinterpretasikan. Hal senada juga
disampaikan oleh Grice (1957) yang dikenal dengan konsep -nn. -nn merupakan
singkatan dari non-natural meaning (makna yang tidak alami) yaitu situasi
dimana pembicara mengharapkan makna tetapi mendapat respon dan interpretasi
sesuai yang disadari oleh penerima. Pandangan yang lebih luas tentang
komunikasi disampaikan oleh Ruesch dan Bateson (1951) dan Watzlawick,
Beavin, dan Jackson (1967) bahwa apapun yang terjadi pada kehadiran pengirim
dan penerima bersifat komunikatif; selama pesan yang disampaikan dapat tersedia
untuk orang lain dalam domain yang sama, tidak perlu diharapkan sebagai pesan
untuk dapat dinilai sebagai komunikasi. Goffman (1959) membedakan informasi
yang sebenarnya dan tidak sebenarnya. Informasi yang sebenarnya adalah
komunikasi yang sesuai dengan makna (diharapkan dan diterima), sementara
informasi yang tidak sebenarnya adalah informasi yang diinterpretasikan
maknanya dan dicari artinya.
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimulan bahwa bahasa selalu bersifat komunikatif.
Hal ini didasarkan bahwa bahasa selalu ditujukan kepada penerima pesan.
Terdapat dua macam pesan yang disampaikan dalam bahasa yaitu informatif dan
komunikatif. pesan informatif adalah pesan yang menyampaikan informasi faktual
sedangkan pesan komunikatif adalah pesan yang akan membangun interaksi antara
penutur dan penerima pesan. Hal ini sesuai dengan dua fungsi bahasa yaitu
fungsi transaksional dan interpersonal. Fungsi transaktional adalah fungsi
bahasa yang terkait dengan pesan informatif dan fungsi interaksional adalah
fungsi bahasa yang berkaitan dengan fungsi komunikatif.
4. Bahasa dirancang untuk
komunikasi
Asumsi yang
keempat adalah bahasa dirancang untuk mencerminkan dasar komunikasinya. Hal ini
didasarkan pada fitur bahasa yang dibahas oleh Hocket (1958) yang menyatakan
bahwa bahasa dapat digunakan sebagai sistem komunikasi dan dapat memudahkan
seseorang dalam memahami sesuatu hal. Bahasa merupakan alat komunikasi yang utama bagi manusia.
Bahasa digunakan untuk menyampaikan semua perasaan, pikiran, dan pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang kepada orang lain.
Penelitian-penelitian
terdahulu membuktikan bahwa proses komunikatif dapat memunculkan dan
mengembangkan struktur sintaksis. Penelitian sosilonguistik juga membuktikan
bahwa komunikasi pada grup-grup tertentu dapat mempengaruhi perubahan sistem
bunyi suatu bahasa. Selain itu, terdapat beberapa fitur bahasa yang dirancang
untuk memudahkan proses komunikasi. Beberapa fitur bahasa yang digunakan untuk
mempermudah komunikasi adalah redundansi, pilihan istilah referensi, dan
penyusunan informasi dalam kalimat. Salah satu fitur bahasa yang dirancang untuk mempermudah
komunikasi adalah pengulangan kata (redundansi). Zaimar dan Harahap menyebutkan
bahwa redundansi dapat terjadi dalam beberapa bentuk yaitu pengulangan makna
dalam kosakata, sintaks, mimik, dan gerakan tubuh. Tujuan digunakannya
redundansi dalam komunikasi adalah untuk memberikan penekanan atau memastikan
pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimulan bahwa bahasa dirancang untuk komunikasi.
Bahasa dignaran untuk mempermudah proses penyampaian pesan.
Beberapa
fitur bahasa yang dapa digunakan untuk mempermudah proses komunikasi adalah
redundansi, pilihan istilah referensi, dan penyusunan informasi dalam kalimat.
C. PROPERTI WACANA
Pada
dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu
berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis. Wacana berdasarkan
pandangan structural dipandang sebagai satuan bahasa di atas kalimat.
Bahasa pada tataran ini sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari
unsur-unsur yang lebih kecil pada tataran klausa dan kalimat. Pandangan fungsional
(makna) memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaannya, dalam hal ini
wacana dipandang sebagai alat komunikasi.Pandangan yang terakhir yaitu
pandangan dialektis (Action) memandang wacana sebagai ujaran, yakni
wacana dipahami sebagai sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak
lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang
sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran
manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh
penutur).
Berdasarkan
sudut pandang terhadap wacana tersebut kemudian lahir analisis wacana
struktural, fungsional (makna), dan dialektis (action). Cara pandang yang
berbeda membuat focus analisis ketiga analisis wacana tersebut juga berbeda.
Analisis wacana struktural memfokuskan kajiannya pada unit kata, frase, atau
kalimat yang membentuk sebuah wacana.Analisis wacana fungsional memfokuskan
analisisnya pada penggunaan bahasa senyatanya sebagai alat komunikasi.Terakhir,
analisis wacana dialektis yang focus kajiannya pada struktur bahasa dan
konteks.
Ketiga
analisis wacana tersebut memiliki piranti analisis yang berbeda sesuai dengan
fokus kajiannya masing-masing. Untuk mengetahui piranti-piranti apa saja yang
dianalisis dalam ketiga analisis wacana tersebut dalam makalah ini akan mencoba
menguraikannya. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman akan piranti-piranti
analisis yang terdapat dalam ketiga analisis wacana tersebut pembaca dapat
semakin memahami piranti-piranti apa yang perlu dianalisis dalam ketiga
analisis wacana tersebut. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman akan
perbedaaan ketiga analisis wacana tersebut.
Sebagai mana
Deborah mengatakan bahwa piranti – piranti wacana terdiri dari struktur,
pemaknaan, dan tindakan.[18] Ini akan menjadi jelas bahwa piranti ini
mengandung aspek yang sedikit berbeda dengan piranti yang lain. Dua
piranti wacana pertama sebagian besar berkaitan dengan wacana yang sebagian
urutannya panang, proposisi, ucapan-ucapan. Jenis wacana ketiga adalah lebih
menekankan pada aspek bahasa seperti yang digunakan dalam interaksi sosial,
termasuk sebagai pembicara menggunakan tidak hanya dari urutan yang lebih
panjang, namun penggunaan satu unit. Contoh ucapan. Dalam interaksi sosial.
Dengan memeriksa hubungan antara jenis-jenis wacana.
1. a)
Piranti Analisis Wacana Struktural
Van Dijk
(1972), mengklaim bahwa teks merupkan perluasan dari kalimat dan tata bahasa
pada teks dapat ditulis pada bentuk yang sama sebagai kalimat tata bahasa
generatif. Dalam teks seperti tata bahasa.suatu wacana akan ditentukan
oleh seperangkat aturan dengan kriteria formal untuk interpretability kalimat
dalam teks, Beberapa penelitian mengambil pendekatan yang lebih liberal faktor
non-tekstual dalam hasil penelitian mereka yang merupakan wacana struktur .
mencerminkan isi informasi dan struktur apa yang sedang dibicarakan
Selain itu
pandangan struktural juga memandang wacana sebagai sebuah satuan bahasa yang
lengkap, terbesar, dan tertinggi yang berada di atas kalimat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah
paragraf yang lengkap.Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja
paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting
idea).Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan
yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah
dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan
formal.
Pandangan
formal tersebut kemudian melahirkan analisis wacana struktural.Analisis wacana
ini seluruhnya terfokus pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk
sebuah wacana. Berikut akan dipaparkan secara rinci piranti analisis wacana
struktural tersebut.
1) Topik
Topik
berarti ―pokok pembicaran, pokok permasalahan, atau masalah yang dibicarakan
Finoza Istilah topik juga dapat didefinisikan ke dalam beberapa pengertian yang
bebeda yaitu(1) frasa dalam satu klausa yang terpahami, (2) frasa dalam satu
wacana yang terpahami, (3) memiliki posisi khusus dalam satu wacana.
Topik
merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah wacana.Dikatakan demikian
karena topik memuat bagian inti atau perihal yang dibicarakan dalam sebuah
wacana.Topik menunjukkan informasi paling penting atau inti pesan yang ingin
disampaikan oleh penulis.Secara keseluruhan sebuah wacana memiliki sebuah topic
2) Tuturan
Pengungkap Topik
Tuturan
pengungkap topik menurut Gillian Brown dan George Yule disebut kerangka topik .
Ujaran-ujaran tersebut memiliki arah untuk menuju bagaimana sebuah topik bisa
diungkap.Topik itu bisa diungkap berdasarkan unsur-unsur kerangka topik.Unsur
–unsur tersebut adalah orang, tempat, wujud, peistiwa, fakta.Dengan unsur-unsur
tersebut sebuah topik wacana dapat diungkap.
Seperti yang
sudah dipaparkan sebelumnya bahwa tuturan pengungkap topik adalah ujaran-ujaran
yang dapat mengarahkan kita pada pengungkapan topik dalam sebuah wacana.dengan
kata lain tutran pengembang topik tersebut berpusat pada topik untuk
menciptakan kesatuan gagasan dalam sebuah wacana. Adanya tuturan pengungkap
topikyang menyeleweng dari topik hendaknya dihindari.Untuk itu langkah yang
harus ditempuh ialah perumusan butir-butir pengembangan secara ringkas di bawah
topik, sehingga terbentuk wacana yang apik. Gagasan yang terkandung dalam
tuturan pengungkap topik pada dasarnya merupakan pengungkapan dari :
1) Apa yang
akan dibicarakan‖ dengan mengajukan pernyataan sehubungan dengan ‗apa yang
dibicarakan‘.
2) Jawaban
ringkas yang dapat dijadikan butir-butir pengembanganya. Adapun pertanyaan yang
dapat diajukan itu ialah mengenai ‗bagaimana‘. ‗mengapa‘, dan pertanyaan lain
yang relevan.
3) Langkah
selanjutnya adalah mengecek apkah butir-butir itu sudah lengkap ataukah masih
ada yang terlewatkan, dan kemudian menyusun kembali butir-butir itu dalam
susunan yang dipandang paling tepat.
3) Kohesi
dan Koherensi
Piranti
analisis wacana structural yang ketiga adalah kohesi dan koherensi. Kohesi dan
koherensi merupakan salah satu unsur pembentuk wacana yang sangat penting.
Menurut Rani dkk Aspek kohesi akan merangkai hubungan anatarbagian dalam wacana
yang ditandai dengan penggunaan bahasa, sedangkan aspek koherensi merupakan
kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana.Untuk memberikan
pemahaman kepada pembaca, berikut disajikan pemaparan mengenai kedua aspek
tersebut.
2. Piranti
Analisis Wacana Fungsional (Meaning)
Halliday dan
hasan berpendapat misalnya, bahwa meskipun struktur mungkin menjadi salah satu
sumber definisi teks sumber bahwa genre tertentu dari teks berbagi dengan
kalimat sumber yang lebih menarik adalah pada tingkat hubungan semantik yang
mendasari teks. Dengan demikian, barang-barang tertentu seperti kami ganti,
kata keterangan, dan konjungsi membantu menciptakan wacana bukan karena aturan
diatur distribusi mereka, tetapi karena mereka menunjukkan link penafsiran
antara dua bagian dalam teks. Dan meskipun kita dapat mengenali elemen kohesif
dengan penampilan permukaannya dalam huruf a, apa elemen seperti itu
benar-benar menampilkan hubungan antara isi proposisional mendasari dua klausa
penyebab di mana unsur muncul dan klausa sebelumnya. Singkatnya, link kohesif
didirikan karena interpretasi elemen dalam satu klausul mengandaikan informasi
dari klausa sebelumnya.
Analisis
wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional.Pendekatan fungsional
merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahasa sebagai sistem
terbuka.Artinya, bahasa mempunyai sistem yang dapat berubah; sifat bahasa
heterogen, yaitu bervariasi, berbeda penggunaannya bergantung konteksnya,
seperti penutur dan lawan tutur, tujuan, tempat, dan waktunya; fokus deskripsi
pada fungsi bahasa, yaitu maksud dan tujuan penggunaan bahasa sebagai alat
komunikasi.
Analisis
wacana yang didasarkan pada pandangan fungsional ini difokuskan pada terhadap
penggunaan bahasa berupa tuturan dalam penggunaan bahasa secara alami dalam
proses komunikasi. Dalam hal ini, piranti analisis wacana berdasarkan pandangan
ini yaitu (1) Tuturan pengungkap maksud, (2) Maksud/ fungsi tuturan(tindak
tutur), (3) strategi penyampaian tindak tutur, (4) prinsip penggunaan bahasa
(5) Komponen Percakapan.
a) Tututuran
Pengungkap Maksud
Seperti yang
sudah diungkap sebelumnya bahwa analisis wacana fungsional lahir dari
pendekatan fungsional yang bersifat terbuka dan analisisnya difokuskan pada
penggunaan bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Proses komunikasi dapat
kita pahami sebagai proses penyampaian pesan dari penutur kepada mitra tutur.
Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa tuturan – tuturan dalam
proses komunikasi merupakan sebuah sarana pengungkap maksud yang ingin
disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur dalam proses komunikasi.
Dalam
analisis wacana fungsional tuturan – tuturan yang mengungkap maksud tersebutlah
yang dianalisis. Misalnya apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada
orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud
kalimat.
Untuk
menyampaikan makna atau maksudnya itu, penutur harus menuangkannya dalam wujud
tindak tutur. Tindak tutur yang dipilih tersebut sangat bergantung pada
beberapa faktor, antara lain: dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa
ia akan menyampaikan ujaranya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan,
dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang
dipergunakannya.
b) Maksud/
Fungsi Tuturan (Tindak Tutur)
Setiap
tuturan yang hadir dalam proses komunikasi bukan sekedar lambang, kata, atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari
lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Setiap tuturan
(tindak tutur) tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam
penggunaannya.Fungsi tersebut tampak jelas dari maksud yang disampaikan penutur
melalui tuturannya.Untuk menganalisis maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur)
tersebut perlu dipahami beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) yang ada.Berikut
diuraikan beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut.
2) Strategi
Penyampaian Tuturan
Putu
Wijana&M. Rohmaji menjelaskan, berdasarkan strategi penyampaiannya, jenis
tindak tutur dapat dibagi menjadi.empat bagian. Yaitu:
1. Tindak
Tutur Langsung
Tindak tutur
langsung terbentuk bila kalimat difungsikan secara konvensional. Misalnya
kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, kalimat
tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon
dan sebagainya.
Contoh.
(1) Mia
makan roti
Tuturan di
atas menggambarkan penyampaiannya di lakukan secara langsung dari sang penutur
kepada lawan tuturnya.Tuturan di atas menggambarkan kalimat berita yang secara
langsung menyampaikan bahwa Mia sedang makan roti.
c. Tindak Tutur Tidak langsung
Tuturan
yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawabsecara
langsung, tetapi harus segera melaksanakan maksud yang terimplikasi dari
tuturan tersebut. Berbanding terbalik dengan tuturan langsung yang dijelaskan
di atas, tuturan tidak langsung biasanya tersampaikan secara lebih sopan.
Misalnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan menggunakan kalimat berita
atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bila hal
ini yang terjadi, maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak
langsung (indirect speech act).
Contoh.
(1) Kamu
sudah makan siang?
Tuturan (1)
bila diucapkan kepada seseorang sebenarnya bukan sekedar bertanya apakah lawan
tutur memiliki sudah makan, tetpi lebih dimaksudkan untuk mengajak lawan tutur
untuk makan siang bersama.
(2) Tindak
tutur literal
Tindak
tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki
maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
Masakanmu
sangat enak
Tuturan di
atas benar-benar bermaksud memuji bahwa masakan yang ia cicipi benar-benar
enak.
(3) Tindak
tutur tidak litera
Tindak
tutur tidak literal (nonliteral peech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1) Masakanmu
sangat enak, tapi lebih baik kamu jangan menjadi koki.
Tuturan (1)
menggambarkan sang penutur mengatakan masakan lawan tuturnya tidak enak sehingga
lebih baik tidak usah menjadi koki , walaupun diawali dengan kalimat memuji.
Piranti
Analisis Wacana Dialektis (Action)
Menurut
Deborah dalam bukunya dikatakan bahwa Struktur dan makna merupakan piranti
analisis wacana yang mempertimbangkan pada segi linieritas dari bagian contohnya
adalah kalimat,teks kata depan.. Meskipun tindakan – atau lebih akurat tindakan
yang di selesaikan ini juga merupakan piranti analisis wacana, piranti
itu adalah piranti yang muncul tidak jauh dari pengaturan unit yang mendasari
pembicara dan yang diambil dan ditindaklanjuti oleh para pendengar. dan dari
cara inilah bahasa yang digunakan dalam cara tujuan yang ada.
Analisis
wacana dialektis lahir dari paradigma dialektika yang memandang bahasa sebagai
ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak
lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam
suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga
dipandang sebagai parole. Dengan demikian,Arifin mengatakan bahwa,
selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus di perhatikan
pada saat menyusun suatu ujaran.
Piranti
analisis wacana dialektis ( wacana kritis) ini meliputi (1) ‗common sense‘
dan ‗ideologi‘ (2) asumsi yang implisit, koherensi, dan Inferensi, (3)
Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur wacana (supra,
mikro, dan makro).
1) Common
Sense’ dan Ideologi
Menurut
Fairclough dan Wodak(dalam Erianto, 2001:7) analisis wacana kritis melihat
wacana – pemakai bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik
sosial. menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan
dialektis diantara pristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan
struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek
ideologi: ia dapat memproduksi dan repsroduksi hubungan kekuasaan yang tidak
imbang anatara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang
ditampilkan. Melalui wacana, sebagi contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau
ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense,
suatu kewajaran alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya.Analisis
wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaaan yang terjadi di dalam masyarakat
terjadi.
2) Asumsi
yang Implisit, Koherensi dan Inferensi
Seperti
analisis wacana pada umumnya, AWK juga menggunakan piranti seperti asumsi yang
implisit, koherensi, dan inferensi untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan
dekat sekali dengan kenyataan atau dengan makna yang disampaikan oleh penutur atau
penulis.Untuk lebih memahami piranti ini, berikut dipaparkan sebuah contoh.
3) Interpretasi
Pembaca dan Penulis
Ketika
seorang pembaca membaca sebuah wacana, secara tidak langsung pembaca tersebut
ingin mengetahui sesuatu yang ditulis oleh penulisdan apabila mungkin
menginterpretasikan apa saja yang dimaksud oleh penulis dalam wacana tersebut.
Kondisi sosial tersebut menghubungkan ke tingkat organisasi sosial yang
berbeda, yaitu tingkat situasi sosial atau lingkungan sosial tempat suatu
wacana terjadi; tingkat lembaga sosial yang merupakan matriks wacana yang lebih
luas; dan tingkat sosial secara keseluruhan. Jadi, apabila bahasa dilihat
sebagai wacana dan praktik sosial, seseorang perlu melihatnya sebagai analisis
tentang hubungan antara teks, proses dan kondisi sosial, baik kondisi yang erat
hubungannya dengan konteks situasi maupun kondisi yang lebih jauh yang
berhubungan dengan kondisi lembaga dan struktur sosial. Secara singkat dapat
disebutkan sebagai hubungan antara teks, interaksi, dan konteks.
Moeliono
(2000:117) juga mengungkapkan bahwa interpretasi pembaca sebenarnya tidak jauh
dari makna yang dikemukakan oleh penulis atau sering disebut produser; tentunya
produser dari teks tertentu. Produder teks sebenarnya sebelum menulis juga
menginterpretasikan dunia nyata atau sesuatu yang terjadi ke dalam tulisannya.
Jadi bisa dikatakan bahwa interpretasi pembaca tiada lain adalah interpretasi
dari suatu interpretasi. Jadi sebenarnya interpretasi pembaca kurang lebih
merupakan kombinasi antara apa yang tertulis di dalam teks dan apa yang ada di
dalam benak pembaca atau penginterpreter itu. Secara rinci tahapan interpretasi
itu dapat diumpamakan sebagai berikut :
1. Tuturan
yang ada di permukaan. Tingkat interpretasi pertama ini menghubungkan proses
peginterpretasian bunyi atau huruf yang dapat dibaca di dalam teks ke dalam
kata-kata atau kalimat-kalimat. Hal ini tergantungpada pengetahuan
penginterpreter tentang fonologi, tata bahasa, dan kosakata
2. Makna
tuturan. Bagian ini memberi makna bagi setiap konstituen dalam teks dan
bagian-bagiannya. Interpreter di sini mencari makna dengan jalan
mengombinasikan antara arti kata-kata dan tata bahasa, termasuk juga mencari
arti implisit yang tertera di dalam teks.
3. Koherensi
lokal. Tingakt ketiga mennetukan hubungan antara tuturan-tuturan untuk
menghasilkan interpretasi yang koheren, yaitu koherensi yang berkenan dengan
bagian-bagian teks.
4. Struktur
teks dan makna keseluruhan. Di tingkat ini diinterpretasikan seluruh makna teks
itu dengan tidak lupa mempertimbangkan skemata yang diketahui.
4) Struktur
Wacana (Supra, Mikro, dan Makro)
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang
masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan.
Petama, struktur makro.Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang
dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu
wacana. Kedua, unsur suprastruktur. Unsur ini merujuk pada kerangka suatu
wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau wacana yang dimulai
dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan
diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang
dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.Ketiga,unsur
struktur mikro. Unsur mikro merujuk pada makna setempat (local meaning)
suatuwacana. Unsur ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika,
dan retorika. Aspeksemantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud,
pengandaian, sertanominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan
bagaimana frase dan ataukalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk
kalimat, koherensi, sertapemilihan sejumlah kata ganti (pronouns). Aspek
stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gayayang
digunakan oleh pelaku wacana.
Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat,
aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik suatu
wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk
memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresiyang digunakan.
Lebih lanjut Van Dijk mengungkapkan, meskipun sebuah wacana terdiri dari
atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling
berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks
(tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang
dipakai. Kita bisa membuat ilustrasi pemberitaan kasus Maluku. Misalnya Koran A
mengatakan bahwa kasus ini karena pertentangan antar agama. Tema ini akan
didukung oleh skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang
mengandung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu
dan hanya akan menjelaskan peritiwa tersebut semata pada masalah konflik antara
islam dan Kristen.
Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang
menunjuk dan memperkuat pesan bahwa peristiwa Maluku hanya kasus agama semata.
Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling
mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua
teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu
piramida.Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi
yang dipakai. Pertanyaan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata,
kalimat atau retorika tertentu.
D.
Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai bahwa Analisis
wacana merupakan merupakan sebuah area bidang studi yang luas dan memiliki
berbagai makna yang salah satunya dapat ditinjau dari dua buah pengertian.
Asumsi utama tentang bahasa yang menjadi pusat analisis wacana berhubungan
dengan konteks dan komunikasi. Terdapat empat asumsi analisis wacana,
yaitu tersebut adalah Bahasa selalu terjadi dalam konteks, Bahasa dipengaruhi
oleh konteks, Bahasa selalu bersifat komunikatiif, dan Bahasa dirancang untuk
komunikasi. Asumsi-asumsi ini menimbulkan pandangan yang berbeda dalam analisis
wacana. Pada dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap
wacana, yaitu berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis. Hubungan
antara struktur, makna, dan tindakan dalam analisis wacana menyatakan beberapa
sifat dalam wacana tidak menyatu namun tidak satu pun dari sifat-sifat ini
(struktur, makna, dan tindakan) dapat dipahami tanpa memperhatikan sifat yang
lain.
Sumber :
Brown dan Yule. 1996. Analisis
Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Gillian and George Yule. 1986. Discourse Analysis.
Cambridge: Cambridge University Press.
Cook, Guy. 2009. Discourse. Oxford:
Oxford University Press.
Dijk,Teun A. Van. 1972. News
as Discourse. New Jerresey:Lawrence Elbaum Associate.
Firoza, Lamminudin, 2010. Komposisi
Bahasa. Indonesia Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Halliday dan Hassan. 1985. Language,
context, and text. London: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar