Resum Wacana Bahasa Indonesia
TEORI TINDAK TUTUR
Oleh : Ratna Agustin
A.
Pendahuluan
Pada
pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacan, prasyarat wacana, daN
teks, koteks dan konteks. Kali ini kita membahasa mengenai teori tindak tutur. Kajian
merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan
atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang
demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan
(pelajaran yang mendalam). Sedangkan istilah wacana berasal dari bahasa
sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap. Menurut Tarigan (dalam
Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi
atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata.
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa
yang terlengkap dalam hierarki gramatikal dan disusun secara teratur dan
membentuk suatu makna. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian
wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau
mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah
wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat
pemiliknya yang beragam dan kaya budaya. Untuk memahami secara mendalam dan
tuntas diperlukan berbagai sudut pandang. Ada enam ranah kajian wacana,
diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori
etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori
analisis variasi.
B.
TEORI
TINDAK TUTUR
Tindak
tutur ( speech art ) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara,
pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Penerapan tindak tutur
digunakan dalam beberapa disiplin ilmu. Austin mengemukakan bahwa aktivitas
bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan
sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle (dalam
Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah
kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan,
perintah, dan permintaan.
Searle
(dalam Rusminto, 2010: 22) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang
mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan
tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada
pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana untuk berkomunikasi dan (2)
tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata,
misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan. Dengan
demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam komunikasi.
Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang berbuat
sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi tin –
dakan ini disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan
untuk melakukan suatu tindakan.
Chaer
(2004:16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur
dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna
atau arti tindakan dalam tuturannya , sedangkan Tarigan (1990: 36) menyatakan
bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran atau ucapan tertentu
mengandung m aksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua belah
pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan yang
berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka
instrumen pada penelitian ini mengacu pa da teori tindak tutur.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah teori yang mengkaji
makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang
dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam berkomunikasi. Artinya,
tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi nyata.
1. Fungsi
Tindak Tutur
Setiap tindak tutur mempunyai
fungsi. Fungsi tindak tutur itu tampak pada maksud atau tujuan untuk apa
tuturan itu disampaikan. Misalnya : “Panas sekali ruangan ini.” (Dituturkan
seorang dosen kepada mahasiswa saat kuliah). Konteks pertuturan tersebut, dapat
ditafsirkan bahwa tuturan tersebut berfungsi, bermaksud, atau bertujuan untuk
meminta mahasiswa membuka jendela, pintu, atau menyalakan AC agar ruangan itu
sejuk. Jadi, secara singkat dapat dikatakan fungsi tindak tutur tersebut adalah
untuk meminta. Selanjutnya, karena berfungsi untuk meminta, tindak tutur
tersebut dapat disebut tindak tutur meminta atau permintaan. Dengan kata lain,
berdasarkan fungsinya, tindak tutur tersebut dapat disebut tindak tutur meminta
atau permintaan. Tindak tutur yang menghendaki lawan tutur melakukan sesuatu
seperti halnya permintaan tergolong tindak tutur direktif.
Hal itu sejalan dengan yang
dikatakan Searle (1969) bahwa berdasarkan fungsinya, tindak tutur dapat
dibedakan atas tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan
deklarasi. (1) Asertif (Assertives): bermaksud menyampaikan sesuatu berkaitan
dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang diungkap, misalnya, menyatakan
menerima atau menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan meminta lawan
tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek terhadap tindakan yang
dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut,
memberi nasihat. (3) Komisif (Commissives): ilokusi bertujuan untuk
menyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya,
menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif (Ex¬pressive): fungsi ilokusi ini adalah
mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang
tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan
selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan
sebagainya. (5) Deklarasi (Declaration): fungsi ilokusi ini adalah untuk
mengungkapkan pernyataannya yang keberhasilan pelaksananya tampak pada adanya
kesesuaiannya dengan realitas tindakan, misalnya, mengundurkan diri, membaptis,
memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang,
mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
2. Bentuk
Tindak Tutur
a) Tindak
tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962)
dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur
lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi.
b) Tindak
Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something,
tindakan untuk mengatakan sesuatu. (Chaer : 2010). Seseorang yang membutuhkan
informasi dan kebetulan tuturan informasi itu mereka dengar berarti informasi itu
secara otomatis telah didapatkan dari tuturan orang lain. Contoh :
Ø Jalan
Sisinga adalah jalan yang menghubungkan jalur Singaparna dan Ciawi.
Ø Bencana
terbesar di Tasikmalaya pada tahun 2010 adalah Gempa bumi.
Kalimat
A dan B dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi
informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Bila disimak
baik-baik tampaknya tindak tutur lokusi ini hanya memberi makna secara harfiah,
seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
c) Tindak
Tutur Ilokusi
Tindak tutur
ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu,
oleh karena itu disebut sebagai The Act of Doing Something (tindakan melakukan
sesuatu) (Chaer : 2010). Dalam hal ini seseorang ketika menyampaikan petuturan
bukan hanya menyampaikan informasi saja namun sebagian petuturan itu diharapkan
melahirkan respon dalam bentuk prilaku.
Contoh :
Ø Adzan
Magrib telah berkumandang.
Ø Ujian
Nasional sudah dekat.
Kalimat A bila dituturkan oleh seorang
ibu kepada anaknya selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan
yaitu mengingatkan untuk segera menunaikan Sholat Magrib. Oleh karena itu
anaknya akan menjawab : “Ya, bu. Sebentar saya wudlu dulu.” Sedangkan untuk
kalimat B bila dituturkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, selain
memberi informasi mengenai ujian nasional yang sudah dekat juga berisi tindakan
yaitu mengingatkan agar murid-murid harus giat belajar agar lulus dalam ujian
nasional. Jadi, bila disimak baik-baik tindak tutur ilokusi ini selain memang
memberi informasi tentang sesuatu, juga lebih terkandung maksud dari tuturan
yang diucapkan itu.
d) Tindak
Tutur Perlokusi
Tindak
tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap
lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi
sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek
pada orang lain) (Chaer : 2010). Dalam tindak tutur perlokusi ini petutur
beharap ada perhatian dari lawan tutur terhadap apa yang disampaikannya. Hal
ini sering dialami oleh setiap orang dengan tujuan dan kepentingan yang
berbeda, misalnya tujuan meminta maaf, memohon perhatian, memahami keadaan
seseorang dan sebagainya. Contoh :
Ø Air
wudlu di Masjid sudah mengalir.
Ø Jum’at
lalu saya tidak mengikuti perkuliahan karena mengikuti Work Shop.
Tuturan kalimat A tidak hanya memberi
informasi bahwa air wudlu di Masjid sudah mengalir, tetapi juga bila dituturkan
oleh seseorang teman yang sudah menunaikan sholat kepada temannya yang telah
lama menuggunya, maka Dia akan memahami keterlambatan temannya karena
sebelumnya diketahui bahwa air wudlu di Masjid tidak mengalir. Kalimat B selain
memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegaitan work shop,
juga bila dituturkan pada lawan tutur bermaksud meminta maaf. Lalu, efek yang
diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Searle (1975) membagi
tindak tutur itu atas lima kategori, yaitu :
a. Representatif
Tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Ketika penutur bertugas
menuturkan informasi maka informasi itu harus dituturkan secara akurat. Oleh
karena itu, petutur harus melakukan observasi terhadap kebenaran informasi yang
akan dituturkannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan.
b. Direktif
Tindak
tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Seorang penutur menyampaikan
informasi atau gagasan yang menarik dan logis, sehingga lawan tutur memahami,
merasa tertarik bahkan bermaksud untuk melakukan apa yang yang telah
disampaikan oleh petututur. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,
dan menantang.
c. Ekspresif
Tindak
tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi
mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Sebagai salah satu bentuk
petuturan seseorang dapat memberikan tanggapan berupa petuturan terhadap apa
yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Ketika suatu saat lawan tutur telah
membantu kita, maka petutur munuturkan ucapan terima kasih. Misalnya memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
d. Komisif
Tindak
tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya. Penutur seolah menyampaikan tuntutan kepada lawan tuturannya agar
melakukan apa yang diperintahkan oleh petutur. Dalam pelaksanaannya yang tampak
ada unsur ketegasan sehingga lawan petutur lebih cenderung melaksanakannya.
Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
e. Deklarasi
Tindak tutur yang
dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru. Dalam hal ini penutur memiliki pertimbangan yang kuat
sehingga harus menuturkan sebuah ketegasan atas pertimbangan tertentu, bahkan
ketegasan tersebut dituturkan setelah melalui proses yang memerlukan waktu
sehingga membuahkan hasil berupa petuturan tegas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
dan memberi maaf.
3.
Teori Tindak Tutur sebagai
Ancangan Wacana
Kami telah mendiskusikan
sentra ide teori tindak tutur yang diformulasikan oleh filsuf Austin dan Searle
kemudian mengaplikasikan ide tersebut ke seperangkat tindak tutur tertentu
dalam sebuah wacana. Hipotesisnya bahwa tindak tutur adalah unit dasar
komunikatif bekerja sama dengan prinsip ekspresibilitas (apakah dapat bermakna
bisa dikatakan) mengesankan bahwa terdapat satu seri hubungan analitik antara
nosi dan tindak tutur, apakah maksud penutur, apakah kalimat diucapkan
bermakna, apakah tujuan tuturan, apakah mitra tutur paham, dan apakah yang
menguasai kaidah elemen linguistik.
Teori tindak tutur
selanjutnya secara mendasar ditekankan pada apakah manusia “melakukan” bahasa
dengan fungsi-fungsi bahasa. Secara tipikal fungsi tersebut semua bersanak pada
tujuan-tujuan komunikatif (daya ilokusi sebuah tuturan) yang bisa ditandai (cf.
Yang memiliki verba performatif)
direalisasikan dalam sebuah kalimat tunggal. Bahkan tindak tutur tidak langsung
semua yang dibentuk melalui cara lain berada dalam kelompok ini: gambaran dari
kesamaan label taksonomi tindak tutur langsung.
Kesimpulannya dengan
mengfokuskan pada tuturan sebagai tindak, teori tindak tutur menawarkan
ancangan analisis wacana yang disebut dibagi ke dalam unit-unit yang memiliki
fungsi komunikatif yang diidentifikasi. Walaupun kami dapat mendeskripsikan
tindak tersebut dalam kata lain misalnya sebagai realisasi wujud kaidah,
sebagai produk hubungan bentuk fungsi, sebagai hasil perbedaan tekstual dan
kondisi tekstual mengimpor tindak untuk wacana tersebut adalah bahwa mereka
mengawali dan merespons ke arah tindak lain.
C.
Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat
perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografi
adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik,
misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahas dalam
Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007:
184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan
etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya
hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi,
etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti
secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu,
sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya
diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika
(seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi),
tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi),
dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat
membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti
harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan
orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga
tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari
khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Menurut Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269),
linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah
yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu tidak
serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama
sosiolinguistik. Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap
kajian komunikasi pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat
verbal dan tujuan akhir yang didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik
yang demikian itu disebut etnografi komunikasi, yaitu kajian tentang “etnografi
wicara”.Untuk memahami kajian ini, Hymes menyarankan untuk mengubah orientasi
peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir. Tekanan itu harus
diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi
yang lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak
mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan
yang berbeda; (4) ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak
disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat
komunikasi lainnya; (6) komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik
tolak pemahaman; (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam
konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi
lainnya diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada
tutur daripada kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang
pesan, kepada ketepatan daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi
antarhubungan antara semuanya itu selalu esensial, sehingga .peneliti tidak
bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga mengkhususkan yang
umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik
menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk
itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi
wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi
terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur
dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi
tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
D.
Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan
sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya. Akan tetapi,
definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau
lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa
mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah
mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali
dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi
Antopologi: Gumperz
Dalam
sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies),
Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan
sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Pertalian di
antara kultur, kemasyarakatan, individual, dan kode dikembangankan dalam Discourse
Strategies (strategi wacana), essai (sebagaimana tertulis di atas) yang
mencari pengembangan “tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis proses
waktu nyata dalam pertemuan semuka. Dalam artikel pertama koleksi ini, Gumperz
(1982a:12) mengungkapkan dampak linguistik struktural (yang diformulasikan oleh
Saussure (1959) dan diaplikasikan melalui kerja linguis antropologpada penutur
bahasa yang tidak mereka miliki dalam memahami kultur dan kognisi kita:
“analisis struktural telah melengkapi bukti empiris untuk pengisian bahwa
kognisi manusia secara signifikan dipengaruhi oleh kekuatan historis, apa yang
kita rasakan dan kita simpan dalam akal budi kita adalah fungsi yang secara
kultural telah menentukan kecenderungan untuk merasakan dan mengasimilasikan
kita. Dalam memahami upaya efek tersebut, kita perlu “teori komunikasi verbal
umum yang terintegrasiyang kita kenal dengan tata bahasa, kultur dan konvensi
interaktif ke dalam kesatuan umum kerangka kerja konsep dan prosedur analitis.
Teori
komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan
prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial,
bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi.
Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual
dan tempat inferensi.
Kunci dari
sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang
secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara
yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok,
perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang
menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok
sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan
identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam
siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana
melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan
mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi
komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving
Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks
sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.
Kontruksi
Sosiolog: Goffman
Yang juga
memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah
kerja Erving Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus
pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan.
Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan
interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan
latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman,
yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih
penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan
mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan
beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya untuk ranah
kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara
luas berlangsung tanpa terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja
Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang
menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran
pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan
menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami
pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir pada penutur (1974; 1979)
terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja
partisipan seperangkat posisi yang individu di dalam batas perseptual tuturan
berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi
atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator
memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan,
dan Prinsipal merespon tuturan.
E. Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai teori tindak tutur, teori
sosiolingustik interaksional, teori etnografi komunikasi, teori pragmatik,
teori analisis percakapan, dan teori analisis variasi. Dalam bab pembahasan
dijelaskan mengenai Tindak tutur yang berhubungan dengan konteks tempat, baik
tempat yang berada di sekitar anak maupun tempat yang jauh dari keberadaan
anak. Selain itu, ranah kajian wacana mempunyai manfaat diantaranya: Membantu
masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus mencari
solusinya, Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan
diambil setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
Sumber :
Chaer, Abdul dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar