Jumat, 27 April 2018

TEORI TINDAK TUTUR


Resum Wacana Bahasa Indonesia
TEORI TINDAK TUTUR
   Oleh : Ratna Agustin
A.      Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya kita telas membahas hakikat wacan, prasyarat wacana, daN teks, koteks dan konteks. Kali ini kita membahasa mengenai teori tindak tutur. Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan istilah wacana berasal dari bahasa sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap. Menurut Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat  atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dalam hierarki gramatikal dan disusun secara teratur dan membentuk suatu makna. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya. Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang. Ada enam ranah kajian wacana, diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori analisis variasi.

B.      TEORI TINDAK TUTUR
Tindak tutur ( speech art ) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Penerapan tindak tutur digunakan dalam beberapa disiplin ilmu. Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle (dalam Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan.
Searle (dalam Rusminto, 2010: 22) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana untuk berkomunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam komunikasi. Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi tin – dakan ini disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan.
Chaer (2004:16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya , sedangkan Tarigan (1990: 36) menyatakan bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran atau ucapan tertentu mengandung m aksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka instrumen pada penelitian ini mengacu pa da teori tindak tutur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah teori yang mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam berkomunikasi. Artinya, tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi nyata.
1.      Fungsi Tindak Tutur
Setiap tindak tutur mempunyai fungsi. Fungsi tindak tutur itu tampak pada maksud atau tujuan untuk apa tuturan itu disampaikan. Misalnya : “Panas sekali ruangan ini.” (Dituturkan seorang dosen kepada mahasiswa saat kuliah). Konteks pertuturan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa tuturan tersebut berfungsi, bermaksud, atau bertujuan untuk meminta mahasiswa membuka jendela, pintu, atau menyalakan AC agar ruangan itu sejuk. Jadi, secara singkat dapat dikatakan fungsi tindak tutur tersebut adalah untuk meminta. Selanjutnya, karena berfungsi untuk meminta, tindak tutur tersebut dapat disebut tindak tutur meminta atau permintaan. Dengan kata lain, berdasarkan fungsinya, tindak tutur tersebut dapat disebut tindak tutur meminta atau permintaan. Tindak tutur yang menghendaki lawan tutur melakukan sesuatu seperti halnya permintaan tergolong tindak tutur direktif.
Hal itu sejalan dengan yang dikatakan Searle (1969) bahwa berdasarkan fungsinya, tindak tutur dapat dibedakan atas tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. (1) Asertif (Assertives): bermaksud menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang diungkap, misalnya, menyatakan menerima atau menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan. (2) Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan meminta lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek terhadap tindakan yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif (Commissives): ilokusi bertujuan untuk menyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif (Ex¬pressive): fungsi ilokusi ini adalah mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. (5) Deklarasi (Declaration): fungsi ilokusi ini adalah untuk mengungkapkan pernyataannya yang keberhasilan pelaksananya tampak pada adanya kesesuaiannya dengan realitas tindakan, misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

2.      Bentuk Tindak Tutur
a)      Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi.
b)      Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something, tindakan untuk mengatakan sesuatu. (Chaer : 2010). Seseorang yang membutuhkan informasi dan kebetulan tuturan informasi itu mereka dengar berarti informasi itu secara otomatis telah didapatkan dari tuturan orang lain. Contoh :
Ø  Jalan Sisinga adalah jalan yang menghubungkan jalur Singaparna dan Ciawi.
Ø  Bencana terbesar di Tasikmalaya pada tahun 2010 adalah Gempa bumi.
Kalimat A dan B dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Bila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur lokusi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
c)      Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu, oleh karena itu disebut sebagai The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu) (Chaer : 2010). Dalam hal ini seseorang ketika menyampaikan petuturan bukan hanya menyampaikan informasi saja namun sebagian petuturan itu diharapkan melahirkan respon dalam bentuk prilaku.
Contoh :
Ø  Adzan Magrib telah berkumandang.
Ø  Ujian Nasional sudah dekat.
Kalimat A bila dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan untuk segera menunaikan Sholat Magrib. Oleh karena itu anaknya akan menjawab : “Ya, bu. Sebentar saya wudlu dulu.” Sedangkan untuk kalimat B bila dituturkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, selain memberi informasi mengenai ujian nasional yang sudah dekat juga berisi tindakan yaitu mengingatkan agar murid-murid harus giat belajar agar lulus dalam ujian nasional. Jadi, bila disimak baik-baik tindak tutur ilokusi ini selain memang memberi informasi tentang sesuatu, juga lebih terkandung maksud dari tuturan yang diucapkan itu.
d)     Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain) (Chaer : 2010). Dalam tindak tutur perlokusi ini petutur beharap ada perhatian dari lawan tutur terhadap apa yang disampaikannya. Hal ini sering dialami oleh setiap orang dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda, misalnya tujuan meminta maaf, memohon perhatian, memahami keadaan seseorang dan sebagainya. Contoh :
Ø  Air wudlu di Masjid sudah mengalir.
Ø  Jum’at lalu saya tidak mengikuti perkuliahan karena mengikuti Work Shop.
Tuturan kalimat A tidak hanya memberi informasi bahwa air wudlu di Masjid sudah mengalir, tetapi juga bila dituturkan oleh seseorang teman yang sudah menunaikan sholat kepada temannya yang telah lama menuggunya, maka Dia akan memahami keterlambatan temannya karena sebelumnya diketahui bahwa air wudlu di Masjid tidak mengalir. Kalimat B selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegaitan work shop, juga bila dituturkan pada lawan tutur bermaksud meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Searle (1975) membagi tindak tutur itu atas lima kategori, yaitu :
a.       Representatif
Tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Ketika penutur bertugas menuturkan informasi maka informasi itu harus dituturkan secara akurat. Oleh karena itu, petutur harus melakukan observasi terhadap kebenaran informasi yang akan dituturkannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan.
b.      Direktif
Tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Seorang penutur menyampaikan informasi atau gagasan yang menarik dan logis, sehingga lawan tutur memahami, merasa tertarik bahkan bermaksud untuk melakukan apa yang yang telah disampaikan oleh petututur. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
c.       Ekspresif
Tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Sebagai salah satu bentuk petuturan seseorang dapat memberikan tanggapan berupa petuturan terhadap apa yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Ketika suatu saat lawan tutur telah membantu kita, maka petutur munuturkan ucapan terima kasih. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
d.      Komisif
Tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Penutur seolah menyampaikan tuntutan kepada lawan tuturannya agar melakukan apa yang diperintahkan oleh petutur. Dalam pelaksanaannya yang tampak ada unsur ketegasan sehingga lawan petutur lebih cenderung melaksanakannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
e.       Deklarasi
Tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Dalam hal ini penutur memiliki pertimbangan yang kuat sehingga harus menuturkan sebuah ketegasan atas pertimbangan tertentu, bahkan ketegasan tersebut dituturkan setelah melalui proses yang memerlukan waktu sehingga membuahkan hasil berupa petuturan tegas yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

3.      Teori Tindak Tutur sebagai Ancangan Wacana
Kami telah mendiskusikan sentra ide teori tindak tutur yang diformulasikan oleh filsuf Austin dan Searle kemudian mengaplikasikan ide tersebut ke seperangkat tindak tutur tertentu dalam sebuah wacana. Hipotesisnya bahwa tindak tutur adalah unit dasar komunikatif bekerja sama dengan prinsip ekspresibilitas (apakah dapat bermakna bisa dikatakan) mengesankan bahwa terdapat satu seri hubungan analitik antara nosi dan tindak tutur, apakah maksud penutur, apakah kalimat diucapkan bermakna, apakah tujuan tuturan, apakah mitra tutur paham, dan apakah yang menguasai kaidah elemen linguistik.
Teori tindak tutur selanjutnya secara mendasar ditekankan pada apakah manusia “melakukan” bahasa dengan fungsi-fungsi bahasa. Secara tipikal fungsi tersebut semua bersanak pada tujuan-tujuan komunikatif (daya ilokusi sebuah tuturan) yang bisa ditandai (cf. Yang memiliki verba performatif) direalisasikan dalam sebuah kalimat tunggal. Bahkan tindak tutur tidak langsung semua yang dibentuk melalui cara lain berada dalam kelompok ini: gambaran dari kesamaan label taksonomi tindak tutur langsung.
Kesimpulannya dengan mengfokuskan pada tuturan sebagai tindak, teori tindak tutur menawarkan ancangan analisis wacana yang disebut dibagi ke dalam unit-unit yang memiliki fungsi komunikatif yang diidentifikasi. Walaupun kami dapat mendeskripsikan tindak tersebut dalam kata lain misalnya sebagai realisasi wujud kaidah, sebagai produk hubungan bentuk fungsi, sebagai hasil perbedaan tekstual dan kondisi tekstual mengimpor tindak untuk wacana tersebut adalah bahwa mereka mengawali dan merespons ke arah tindak lain.
C.      Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahas dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Menurut Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269), linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik. Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhir yang didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu disebut etnografi komunikasi, yaitu kajian tentang “etnografi wicara”.Untuk memahami kajian ini, Hymes menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir. Tekanan itu harus diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4) ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya; (6) komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman; (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara semuanya itu selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.

D.      Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya. Akan tetapi, definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Pertalian di antara kultur, kemasyarakatan, individual, dan kode dikembangankan dalam Discourse Strategies (strategi wacana), essai (sebagaimana tertulis di atas) yang mencari pengembangan “tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis proses waktu nyata dalam pertemuan semuka. Dalam artikel pertama koleksi ini, Gumperz (1982a:12) mengungkapkan dampak linguistik struktural (yang diformulasikan oleh Saussure (1959) dan diaplikasikan melalui kerja linguis antropologpada penutur bahasa yang tidak mereka miliki dalam memahami kultur dan kognisi kita: “analisis struktural telah melengkapi bukti empiris untuk pengisian bahwa kognisi manusia secara signifikan dipengaruhi oleh kekuatan historis, apa yang kita rasakan dan kita simpan dalam akal budi kita adalah fungsi yang secara kultural telah menentukan kecenderungan untuk merasakan dan mengasimilasikan kita. Dalam memahami upaya efek tersebut, kita perlu “teori komunikasi verbal umum yang terintegrasiyang kita kenal dengan tata bahasa, kultur dan konvensi interaktif ke dalam kesatuan umum kerangka kerja konsep dan prosedur analitis.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.      
Kontruksi Sosiolog: Goffman
Yang juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya  untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tanpa terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir pada penutur (1974; 1979) terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan seperangkat posisi yang individu di dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
E.      Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori analisis variasi. Dalam bab pembahasan dijelaskan mengenai Tindak tutur yang berhubungan dengan konteks tempat, baik tempat yang berada di sekitar anak maupun tempat yang jauh dari keberadaan anak. Selain itu, ranah kajian wacana mempunyai manfaat diantaranya: Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus mencari solusinya, Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.

Sumber :
Chaer, Abdul dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar