Resum Wacana
Bahasa Indonesia
Hakikat Wacana Dan Kedudukan Wacana Dalam Linguistik
Oleh : Ratna Agustin
A. Pendahuluan
Kita seringkali masih merasa bingung
membedakan antara wacana dengan paragraph karena kemiripannya. Paragraph bisa
juga termasuk bagian dari wacana, sedangkan wacana tidak bisa dikatakan
paragraph kalau tidak memenuhi syarat. Wacana sendiri dalam ilmu linguistik
merupakan unit memiliki tingkatan yang
lebih tinggi dibandingkan
dengan kata, frasa, klausa dan kalimat.
Istilah wacana sendiri berasal dari sansekerta yang bermakna ucapan atau
tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut sepertihalnya
kata “demokrasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup.” Sepertihalnya banyak kata yang digunakan kadang-kadang
pemakaian bahasa tidak mengetahui secara jelas, apa kata yang digunakan
tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Ada juga yang mengatakan sebagai pembicaraaan. Kata wacana juga banyak
dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi,
sosiologi,politik,komunikasi,sastra dsb. Pembahasan wacana berkaitan erat
dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang
bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama
menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi.
B. Hakikat Wacana
Wacana dalam ilmu linguistik
merupakan unit memiliki tingkatan yang
lebih tinggi dibandinngka dengan kata, frasa, klausa dan kalimat. Menurut
Abdul Chaer (1994 : 267) wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hirarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Wacana dikatakan lengkap karena
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh
pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan
apapun. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari
kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan kewacanaan lainnya. Menurut Tarigan (1987 : 27) wacana
adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat
atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang
mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Harimurti Kridalaksana (2000 : 231)
berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb)
Dari beberapa pendapat diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dengan hirarki
tertinggi atau terbesar dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan yang
disampaikan secara lisan atau tertulis dalam bentuk karangan yang utuh.
C. Ciri-ciri
Wacana
Syamsudin (1992 : 5
)Dari berbagai definisi dan pengertian
wacana diatas, maka ciri-ciri wacana adalah sebagai berikut :
1.
Sebuah satuan
gramatikal
2.
Satuan terbesar,
tertinggi, atau terlengkap
3.
Untaian kalimat-kalimat
4.
Memiliki hubungan
kontinuitas, berkesinambungan
5.
Memiliki hubungan
koherensi (tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya
berkaitan satu dengan yang lain dengan kata lain memiliki keselarasan)
6.
Medium bisa lisan
maupun tulis
7.
Memiliki hubungan
koherensi (keterikatan antarunsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana
yang ditandai antara lain konjungsi, pengulangan, penyulihan dan pelesapan)
D.
Fungsi
Wacana
Fungsi wacana yang
utama adalah untuk menyampaikan informasi kepada pembaca maupun pendengar.
Fungsi wacana dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu secara transaksional dan
intruksional. Secara transaksional adalah bahwa sebuah wacana adalah uraian
yang tersusun dari satuan gramatikan yang berfungsi untuk menyampaikan
informasi berupa ide, gagasan, maupun menguraikan sebuah topik permasalahan.
Sedangkan secara intruksional adalah bahwa wacana berfungsi untuk memberikan
penjelasan mengenai ide atau gagasan yang disampaikan kepada pembaca ataupun
pendengar. Funsi intruksional memberikan petunjuk atau arahan kepada pembaca
atau pendengar, fungsi ini diimplementasikan pada jenis wacana persuasive.
1.
Unsur-
Unsur Wacana
Wacana memiliki dua
unsur pendukung utama:
a)
Unsur-unsur
internal wacana
Unsur internal suatu
wacana terdiri atas satuan kata atau
kalimat.
Satuan kata adalah kata
yang berposisi sebagai kalimat atau kalimat satu kata. Untuk menjadi satuan
wacana yang besar, satuan kata atau kalimat akan bertalian dan bergabung
membentuk wacana.
1. Kata dan Kalimat
Kata pada struktur yang
lebih besar merupakan bagian dari kalimat. Sedangkan kalimat merupakan susunan
yang terdiri dari beberapa kata yang memiliki pengertian dengan intonasi
sempurna. Ada juga satu kalimat terdiri dari satu kata.
Kalimat satu kata
adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek. Kita cenderung bertanya jawab
dengan kalimat-kalimat pendek.
Contoh :
Kuliah?
Enggak.
Kemana ?
Main.
Fikker (1980:11)
menyatakan bahwa:
Kalimat adalah ucapan
bahasa yang memiliki arti penuh dan bebas
keseluruhannya ditentukan oleh intonasi (sempurna).
Kebermaknaan suatu
kalimat ditentukan oleh ketergantungannya kepada makna kalimat lainnya, yang
menjadi rangkaiannya. Sebab pada dasarnya, kata atau kalimat dikatakan bermakna
karena mengandaikan adanya unsure lain yang menjadi pasangan ketergantungannya.
Fokker (1980:83)
menguraikan dengan jelas sebagaimana kutipan berikut ini:
Meskipun setiap kalimat
bisa berdiri sendiri, tetapi dalam kesendirian itu hanya ada sampai batas-batas
tertentu. Oleh sebab memang ada pertalian antara kalimat-kalimat itu. Jadi
kalimat-kalimat itu pada satu pihak berdiri sendiri, tapi di pihak lain saling
tergantung pula satu sama lain. Tiap-tiap kalimat seakan sudah menentukan
hadirnya kalimat lain. Biar pun ada kalimat yang tersendiri, ia tetap terkait
dalam satu hubungan yang lebih besar, yaitu situasi dimana ia diucapkan. Jadi
penyendirian kalimat pada hakekatnya hanyalah nampaknya saja. Bukankah ia pada
kenyataannya menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang tak di
ucapkan tetapi ada baik dalam pikiran pembaca/pendengardan seakan-akan menjaga
agarkalimat yang bersangkutan.
2. Teks
dan konteks
Istilah teks bisa
diberi makna bahasa tulis, dan wacana bahasa lisan (Dede Oetomo, 1993:4)
Dalam tradisi tulis
teks bersifat “monolog noninteraksi”, dan wacana lisan bersifat”dialog
intraksi”. Perbedaan kedua istilah terletak pada segi pemakaiannya saja.
Atas dasar perbedaan
itulah muncul dua tradisi pemahaman dibidang linguistik. Yaitu “analisis
linguistic teks” dan “analisis wacana”. Analisis linguistic teks langsung
mengandaikan objek kajiannya berupa bentuk
formal biasa yaitu kosa kata dan
kalimat. Sedangkan analisis wacana mengharuskan disertakan analisis
tentang konteks terjadinya satuan tuturan.
Unsur internal
berkaitan dengan asfek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal di luar wacana itu
sendiri.
Kedua unsure diatas membentuk
satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.
b)
Unsur-unsur
eksternal
Unsur eksternal wacana
adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, (tidak secara eksplisit) sesuatu itu
berada diluar wacana. Unsur-unsur eksternal terdiri atas implikatur terhadap
unsure-unsur tersebut.
1. Implikatur
Grice (dalam Soeseno,
1993:30) mengemukakan bahwa :
Implikatur ialah ujaran
yang menyiaratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.Yang
berbeda tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Katalain implikatur adalah maksud,
keinginan atau ungkapan-ungkapan hati tersembunyi.
Contoh :
Rika : Aku belum makan,
Bu.
IBU : Nanti, Nak.
Bapakmu belum pulang.
Percakapan antara Rika
dan Ibu pada contoh di atas mengandung implikatur, yaitu ‘tidak ada nasi,
bahkan mungkin tidak ada uang’( di buktikan dengan “Nanti, Nak Bapakmu belum
pulang”). Karena dapat memahami implikatur tuturan Rika, yakni minta makan,
sebenarnya ibu menjawab bahwa tidak ada yang bisa dimakan, beraspun tidak ada.
2. Referensi
Referensi adalah
hubungan antara kata dengan benda yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku
pembicara atau penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah
pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal
yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.
a. Referensi
eksofora (situasional/kontekstual)
Referensi eksofora
adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya terletak dan
tergantung pada konteks situasional.
Bila interpretasi itu
terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan
referensi endofora.
Contoh :
Itu Mobil.
Kata “Itu” menunjukan
pada “sesuatu” yaitu Mobil. Mobil yang di maksud, “kenderaan roda empat” tidak
terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks.Jadi, referensi eksofora
mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk diluar teks
tersebut.
b. Referensi
endofora (tekstual)
Referensi endofora
anaforis adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam
teks.
Contoh :
Nabil mendapatkan
peringkat satu lagi. Dia memang pintar.Kata “dia” pada kalimat kedua mengacu
pada Nabil, yaitu nama yang telah disebut sebelumnya (pada kalimat pertama).
Pola pengacuan masih merujuk pada sesuatu/seseorang yang berada dalam teks.
Jadi tidak perlu dicari nama Nabil yang mana.
3. Inferensi
Menurut Moeliono
(1988:358) inferensi dalam bidang wacana berarti sebagai proses yang harus
dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di
dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis. Simpulan atau
inferensi sering harus dibuat sendiri
oleh pendengar (pembaca) karena dai belum tau benar apa sebenarnya yang
dimaksud pembicara. Karena dibuat sendiri oleh pendengar (pembaca), tidak
jarang simpulan itu ternyata salah atau tidak sama persis dengan apa yang
dimaksudkan pembicara atau penulis wacana.
Simpulan merupakan
proses yang harus dilakukan pendengar (pembaca) untuk memahami makna yang tidak
terungkapkan secara harfiah dadalam sebuah wacana ( moeliono,ed.,1988:358).
Pendengar (pembaca) harus mampu mengungkap makna, memahami, menafsirkan, dan
menyimpulkan makna wacana meskipun makna itu tidak terungkapkan secara
eksplisit.
Contoh :
Wah, kereta ekspres
Jakarta-Bogor sudah leawt, ya Dik?
Ya. Ibu mau ke Bogor?
Tidak. Ke Bojong
Ibu harus naik kereta
lain. Kerepses tidak berarti di setiap stasiun. Tunggu 10 menit lagi BuSeorang
ibu ingin naik kereta ekspres ke Bojong,
tetapi ia datang terlambat. Dia juga tidak tau kalau kereta itu sudah lewat. Simpulan
itu dipertegas oleh jawaban A ketika ditanya “Ibu mau ke Bogor?” jawabnya
“tidak, ke Bojong.” proses penyimpulan itulah yang harus dilakukan B( sebagai
pendengar) agar ia mendapakan pengetahuan
yang jelas dan benar.
4. Konteks
Wacana
Konteks ialah situasi
atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab
dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengn arti, maksud, maupun informasinya,
sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Menurut Moeliono (1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa
hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topic, peristiwa,
bentuk, amanat, kode, dan saluran. Konteks yang berkaitan dengan partisipan
(penutur wacana) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi
tuturan. Misalnya muncul tuturan berikut ini.
Contoh :
Saya pingin meliburkan
diri. Sudah bosan
Yang mengucapkan
tuturan itu adalah seorang mahasiswa, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan
meliburkan diri adalah “cuti”.
E. KEDUDUKAN
WACANA DALAN LINGUSITIK
Kedudukan wacana berada
pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurni Kridalaksana, 1984:334).
Wacana sebagai satuan grametikal dan objek kajian linguistik mengandung semua unsure
kebahasaan yany diperlukan dalam
berkomunikasi.
Unsur-unsur satuan
kebahasaan dibawahnya seperti fonem, morfem, frase, klausa, atau kalimat.
Perhatikan bagan A dibawah ini :
BAGAN A
Bagan
A menunjukkan bahwa semakin keatas, suatu kebahasaan akan semakin besar
(melebar). Artinya, satuan kebhasaan yang ada di bawah akan tercakup dan
menjadi bagian dari satuan bahasa yang
berada di atasnya.
1.
Analisis
“Wacana” dengan “Fonologi”
Abdul
Chaer (2007:102) menjelaskan bahwa fonologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Wacana
adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan secara alamiah,
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Hubungan
antara fonologi dan wacana adalah sebagai berikut:
I.
Fonologi maupun wacana
sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya, hanya saja perbedaannya
adalah fonologi mengkaji struktur bahasa (khususnya bunyi bahasa) sedangkan
analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara
Hierarki, Fonologi merupakan tataran terkecil dalam Wacana. Dalam mengkaji
wacana, teori tentang bunyi-bunyi bahasa sangat diperlukan sebab Fonologi
merupakan dasar dari ilmu bahasa lainnya.
II.
Fonologi dan Wacana sama-sama
mengkaji bahasa dalam bentuk lisan, hanya saja yang membedakan adalah fonologi
tidak mengkaji bahasa dalam bentuk tulisan sebab yang menjadi objeknya hanyalah
bunyi-bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia, sedangkan wacana
mengkaji naskah-naskah yang berbentuk tulisan.
2.
Analisis
“Wacana” dengan “Morfologi”
Wijana
(2007:1) menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang
disebut kata polimorfemik.
Hubungan
Morfologi dengan Wacana adalah sebagai berikut:
a. Morfologi
dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja,
sama dengan Fonologi, morfologi juga mengkaji struktur bahasa (khususnya
pembentukan kata) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar
struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Morfologi merupakan tataran terkecil
kedua dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kata
sangat dibutuhkan sebab Wacana yang berbentuk naskah itu terbentuk dari susunan
kata demi kata yang memiliki makna.
b. Morfologi
yang mempelajari seluk beluk pembentukan kata sangat berhubungan dengan Wacana
karena dalam Wacana harus tepat dalam memilih kata-kata sesuai dengan maksud
yang ingin disampaikan oleh Wacana tersebut.
3.
Analisis
“Wacana” dengan “Sintaksis”
Ramlan
(1996:21) menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Sedangkan
Kridalaksana dalam Tarigan (1984:208) menjelaskan bahwa wacana (discourse)
adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
wacana yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat atau
kata yang membawa amanat yang lengkap.
Hubungan antara
Sintaksis dengan Wacana adalah sebagai berikut :
a. Sintaksis
dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja,
sama dengan Fonologi dan morfologi, Sintaksis juga mengkaji struktur bahasa
(khususnya pembentukan kalimat) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di
luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Sintaksis merupakan tataran
terkecil ketiga dalam Wacana.
b. Sintaksis
yang mempelajari seluk beluk pembentukan kalimat sangat berhubungan dengan
Wacana karena Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kalimat sangat
dibutuhkan. Sebuah Wacana dapat dikatakan baik apabila hubungan antara
kalimat-kalimatnya kohesi dan koheren.
4.
Analisis
“Wacana” dengan “Semantik”
George
dalam Tarigan (1964:1), secara singkat dan populer menjelaskan bahwa semantik
adalah telaah mengenai makna. Hubungannya dengan Wacana adalah baik Semantik
maupun Wacana sama-sama mengkaji makna bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya
saja perbedaannya adalah Semantik mengkaji makna leksikal bahasa (makna
lingistik), sedangkan Wacana mengkaji makna kontekstual atau implikatur dari
ujaran-ujaran atau teks-teks.
5.
Analisis
“Wacana” dengan “Pragmatik”
Levinson
(1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan
tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain
mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks
yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk
memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi
pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan
bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Hubungan
antara “Pragmatik” dan “Wacana” adalah sama-sama mengkaji makna bahasa yang
ditimbulkan oleh konteks.
6.
Analisi
“Wacana” dengan “Filologi”
Filologi
adalah bahasa, kebudayaan, dan sejarah bangsa yang terekam dalam bahan tertulis
seperti peninggalan naskah kuno linguistik, sejarah dan kebudayaan.
Hubungan
Wacana dengan Filologi adalah: Filologi dan wacana sama-sama mengkaji bahasa
dalam bentuk teks atau naskah. Perbedaan keduanya terletak pada tema atau topik
teks atau naskah tersebut. Filologi mengangkat topik yang khusus membahas
tentang sejarah sedangkan Wacana mengangkat topik yang lebih umum dari segala
aspek sosial kehidupan bermasyarakat.
7.
Analisis
“Wacana” dengan “Semiotika”
Semiotika
adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna bahasa yang
ditimbulkan dari tanda-tanda bahasa. Hubungannya dengan wacana adalah, baik
wacana maupun semiotika sama-sama mengkaji tentang makna bahasa. Hanya saja,
semiotika mengkaji makna bahasa berdasarkan ikon, symbol ataupun indeks
sedangkan wacana mengkaji makna tuturan maupun ujaran-ujaran yang dihasilkan
oleh masyarakat tutur.
G. Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai hakikat wacana dan kedudukan
wacana dalam linguistic kita dapat membedakan apa hakikat wacana, ciri wacana, fungsi wacana dan kedudukan wacana, sehingga tidak ada
kesalahpahaman mengenai wacana dengan paragraph. Semoga bisa bermanfaat bagi
pembaca dan dari penulis sendiri.
Sumber :
Chaer,Abdul.2007.linguistik umum. Jakarta :Rineka Cipta.
Syamsuddin
A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis
pengajaran. Bandung:FPBS IKIP Bandung.
Levinson,
Stephen C. 1985. Pragmatics. Cambridge
University Press.
Ramlan,M.
1996. Sintaksis-Cetakan ketujuh.Yogyakarta:
CV.Karyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar