Selasa, 03 April 2018

HAKIKAT WACANA DAN KEDUDUKAN WACANA DALAM LINGUISTIK

Resum Wacana Bahasa Indonesia
Hakikat Wacana Dan Kedudukan Wacana Dalam Linguistik
   Oleh : Ratna Agustin
A.   Pendahuluan
Kita seringkali masih merasa bingung membedakan antara wacana dengan paragraph karena kemiripannya. Paragraph bisa juga termasuk bagian dari wacana, sedangkan wacana tidak bisa dikatakan paragraph kalau tidak memenuhi syarat. Wacana sendiri  dalam ilmu linguistik merupakan unit memiliki  tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kata, frasa, klausa dan kalimat. Istilah wacana sendiri berasal dari sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut sepertihalnya kata “demokrasi, hak asasi manusia,  dan lingkungan hidup.” Sepertihalnya banyak kata yang digunakan kadang-kadang pemakaian bahasa tidak mengetahui secara jelas, apa kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengatakan sebagai pembicaraaan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi,politik,komunikasi,sastra dsb. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun  keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan  bahasa sebagai alat komunikasi.
B.   Hakikat Wacana
Wacana dalam ilmu linguistik merupakan unit memiliki  tingkatan yang lebih tinggi dibandinngka dengan kata, frasa, klausa dan kalimat.  Menurut Abdul Chaer (1994 : 267) wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Wacana dikatakan lengkap karena terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan kewacanaan lainnya. Menurut Tarigan (1987 : 27) wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Harimurti Kridalaksana (2000 : 231) berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal merupakan  satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb)
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dengan hirarki tertinggi atau terbesar dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan yang disampaikan secara lisan atau tertulis dalam bentuk karangan yang utuh.
C. Ciri-ciri Wacana
Syamsudin (1992 : 5  )Dari berbagai definisi dan pengertian wacana diatas, maka ciri-ciri wacana adalah sebagai berikut :
1.         Sebuah satuan gramatikal
2.         Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
3.         Untaian kalimat-kalimat
4.         Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
5.         Memiliki hubungan koherensi (tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu dengan yang lain dengan kata lain memiliki keselarasan)
6.         Medium bisa lisan maupun tulis
7.         Memiliki hubungan koherensi (keterikatan antarunsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana yang ditandai antara lain konjungsi, pengulangan, penyulihan dan pelesapan)

D.    Fungsi Wacana
Fungsi wacana yang utama adalah untuk menyampaikan informasi kepada pembaca maupun pendengar. Fungsi wacana dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu secara transaksional dan intruksional. Secara transaksional adalah bahwa sebuah wacana adalah uraian yang tersusun dari satuan gramatikan yang berfungsi untuk menyampaikan informasi berupa ide, gagasan, maupun menguraikan sebuah topik permasalahan. Sedangkan secara intruksional adalah bahwa wacana berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai ide atau gagasan yang disampaikan kepada pembaca ataupun pendengar. Funsi intruksional memberikan petunjuk atau arahan kepada pembaca atau pendengar, fungsi ini diimplementasikan pada jenis wacana persuasive.           
1.      Unsur- Unsur Wacana
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama:
a)      Unsur-unsur internal wacana
Unsur internal suatu wacana  terdiri atas satuan kata atau kalimat.
Satuan kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat atau kalimat satu kata. Untuk menjadi satuan wacana yang besar, satuan kata atau kalimat akan bertalian dan bergabung membentuk wacana.
1.       Kata dan Kalimat
Kata pada struktur yang lebih besar merupakan bagian dari kalimat. Sedangkan kalimat merupakan susunan yang terdiri dari beberapa kata yang memiliki pengertian dengan intonasi sempurna. Ada juga satu kalimat terdiri dari satu kata.
Kalimat satu kata adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek. Kita cenderung bertanya jawab dengan kalimat-kalimat pendek.
Contoh :
      Kuliah?
      Enggak.
      Kemana ?
      Main.
Fikker (1980:11) menyatakan bahwa:
Kalimat adalah ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan bebas  keseluruhannya ditentukan oleh intonasi (sempurna).
Kebermaknaan suatu kalimat ditentukan oleh ketergantungannya kepada makna kalimat lainnya, yang menjadi rangkaiannya. Sebab pada dasarnya, kata atau kalimat dikatakan bermakna karena mengandaikan adanya unsure lain yang menjadi pasangan ketergantungannya.
Fokker (1980:83) menguraikan dengan jelas sebagaimana kutipan berikut ini:
Meskipun setiap kalimat bisa berdiri sendiri, tetapi dalam kesendirian itu hanya ada sampai batas-batas tertentu. Oleh sebab memang ada pertalian antara kalimat-kalimat itu. Jadi kalimat-kalimat itu pada satu pihak berdiri sendiri, tapi di pihak lain saling tergantung pula satu sama lain. Tiap-tiap kalimat seakan sudah menentukan hadirnya kalimat lain. Biar pun ada kalimat yang tersendiri, ia tetap terkait dalam satu hubungan yang lebih besar, yaitu situasi dimana ia diucapkan. Jadi penyendirian kalimat pada hakekatnya hanyalah nampaknya saja. Bukankah ia pada kenyataannya menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang tak di ucapkan tetapi ada baik dalam pikiran pembaca/pendengardan seakan-akan menjaga agarkalimat yang bersangkutan.
2.      Teks dan konteks
Istilah teks bisa diberi makna bahasa tulis, dan wacana bahasa lisan (Dede Oetomo, 1993:4)
Dalam tradisi tulis teks bersifat “monolog noninteraksi”, dan wacana lisan bersifat”dialog intraksi”. Perbedaan kedua istilah terletak pada segi pemakaiannya saja.
Atas dasar perbedaan itulah muncul dua tradisi pemahaman dibidang linguistik. Yaitu “analisis linguistic teks” dan “analisis wacana”. Analisis linguistic teks langsung mengandaikan objek kajiannya berupa bentuk  formal biasa yaitu kosa kata dan  kalimat. Sedangkan analisis wacana mengharuskan disertakan analisis tentang konteks terjadinya satuan tuturan.
Unsur internal berkaitan dengan asfek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal  berkenaan dengan hal di luar wacana itu sendiri.
Kedua unsure diatas membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.
b)     Unsur-unsur eksternal
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, (tidak secara eksplisit) sesuatu itu berada diluar wacana. Unsur-unsur eksternal terdiri atas implikatur terhadap unsure-unsur tersebut.
1.    Implikatur
Grice (dalam Soeseno, 1993:30) mengemukakan bahwa :
Implikatur ialah ujaran yang menyiaratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.Yang berbeda tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara  eksplisit. Katalain implikatur adalah maksud, keinginan atau ungkapan-ungkapan hati tersembunyi.
Contoh :
Rika : Aku belum makan, Bu.
IBU : Nanti, Nak. Bapakmu belum pulang.
Percakapan antara Rika dan Ibu pada contoh di atas mengandung implikatur, yaitu ‘tidak ada nasi, bahkan mungkin tidak ada uang’( di buktikan dengan “Nanti, Nak Bapakmu belum pulang”). Karena dapat memahami implikatur tuturan Rika, yakni minta makan, sebenarnya ibu menjawab bahwa tidak ada yang bisa dimakan, beraspun tidak ada.
2.    Referensi
Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara atau penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.
a.       Referensi eksofora (situasional/kontekstual)
Referensi eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya terletak dan tergantung pada konteks situasional.
Bila interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora.
Contoh :
Itu Mobil.
Kata “Itu” menunjukan pada “sesuatu” yaitu Mobil. Mobil yang di maksud, “kenderaan roda empat” tidak terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks.Jadi, referensi eksofora mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk diluar teks tersebut.
b.      Referensi endofora (tekstual)
Referensi endofora anaforis adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks.
Contoh :
Nabil mendapatkan peringkat satu lagi. Dia memang pintar.Kata “dia” pada kalimat kedua mengacu pada Nabil, yaitu nama yang telah disebut sebelumnya (pada kalimat pertama). Pola pengacuan masih merujuk pada sesuatu/seseorang yang berada dalam teks. Jadi tidak perlu dicari nama Nabil yang mana.
3.    Inferensi
Menurut Moeliono (1988:358) inferensi dalam bidang wacana berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis. Simpulan atau inferensi  sering harus dibuat sendiri oleh pendengar (pembaca) karena dai belum tau benar apa sebenarnya yang dimaksud pembicara. Karena dibuat sendiri oleh pendengar (pembaca), tidak jarang simpulan itu ternyata salah atau tidak sama persis dengan apa yang dimaksudkan pembicara atau penulis wacana.
Simpulan merupakan proses yang harus dilakukan pendengar (pembaca) untuk memahami makna yang tidak terungkapkan secara harfiah dadalam sebuah wacana ( moeliono,ed.,1988:358). Pendengar (pembaca) harus mampu mengungkap makna, memahami, menafsirkan, dan menyimpulkan makna wacana meskipun makna itu tidak terungkapkan secara eksplisit.
Contoh :
Wah, kereta ekspres Jakarta-Bogor sudah leawt, ya Dik?
Ya. Ibu mau ke Bogor?
Tidak. Ke Bojong
Ibu harus naik kereta lain. Kerepses tidak berarti di setiap stasiun. Tunggu 10 menit lagi BuSeorang ibu ingin naik kereta ekspres  ke Bojong, tetapi ia datang terlambat. Dia juga tidak tau kalau kereta itu sudah lewat. Simpulan itu dipertegas oleh jawaban A ketika ditanya “Ibu mau ke Bogor?” jawabnya “tidak, ke Bojong.” proses penyimpulan itulah yang harus dilakukan B( sebagai pendengar) agar ia mendapakan pengetahuan  yang jelas dan benar.
4.      Konteks Wacana
Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengn arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Menurut Moeliono (1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topic, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Konteks yang berkaitan dengan partisipan (penutur wacana) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan. Misalnya muncul tuturan berikut ini.
Contoh :
Saya pingin meliburkan diri. Sudah bosan
Yang mengucapkan tuturan itu adalah seorang mahasiswa, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan meliburkan diri adalah “cuti”.
E. KEDUDUKAN WACANA DALAN LINGUSITIK
Kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurni Kridalaksana, 1984:334). Wacana sebagai satuan grametikal dan objek kajian  linguistik mengandung semua unsure kebahasaan  yany diperlukan dalam berkomunikasi.
Unsur-unsur satuan kebahasaan dibawahnya seperti fonem, morfem, frase, klausa, atau kalimat. Perhatikan bagan A dibawah ini :

BAGAN A
Bagan A menunjukkan bahwa semakin keatas, suatu kebahasaan akan semakin besar (melebar). Artinya, satuan kebhasaan yang ada di bawah akan tercakup dan menjadi bagian  dari satuan bahasa yang berada di atasnya.
1.      Analisis “Wacana” dengan “Fonologi”
Abdul Chaer (2007:102) menjelaskan bahwa fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Wacana adalah kajian yang meneliti dan mengkaji bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Hubungan antara fonologi dan wacana adalah sebagai berikut:
                          I.            Fonologi maupun wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya, hanya saja perbedaannya adalah fonologi mengkaji struktur bahasa (khususnya bunyi bahasa) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Fonologi merupakan tataran terkecil dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang bunyi-bunyi bahasa sangat diperlukan sebab Fonologi merupakan dasar dari ilmu bahasa lainnya.
                       II.            Fonologi dan Wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk lisan, hanya saja yang membedakan adalah fonologi tidak mengkaji bahasa dalam bentuk tulisan sebab yang menjadi objeknya hanyalah bunyi-bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia, sedangkan wacana mengkaji naskah-naskah yang berbentuk tulisan.

2.      Analisis “Wacana” dengan “Morfologi”
Wijana (2007:1) menjelaskan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik.
Hubungan Morfologi dengan Wacana adalah sebagai berikut:
a.       Morfologi dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja, sama dengan Fonologi, morfologi juga mengkaji struktur bahasa (khususnya pembentukan kata) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Morfologi merupakan tataran terkecil kedua dalam Wacana. Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kata sangat dibutuhkan sebab Wacana yang berbentuk naskah itu terbentuk dari susunan kata demi kata yang memiliki makna.
b.      Morfologi yang mempelajari seluk beluk pembentukan kata sangat berhubungan dengan Wacana karena dalam Wacana harus tepat dalam memilih kata-kata sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Wacana tersebut.

3.      Analisis “Wacana” dengan “Sintaksis”
Ramlan (1996:21) menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Sedangkan Kridalaksana dalam Tarigan (1984:208) menjelaskan bahwa wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Hubungan antara Sintaksis dengan Wacana adalah sebagai berikut :
a.       Sintaksis dan Wacana sama-sama menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja, sama dengan Fonologi dan morfologi, Sintaksis juga mengkaji struktur bahasa (khususnya pembentukan kalimat) sedangkan analisis wacana mengkaji bahasa di luar struktur/kaidah-kaidah. Secara Hierarki, Sintaksis merupakan tataran terkecil ketiga dalam Wacana.
b.      Sintaksis yang mempelajari seluk beluk pembentukan kalimat sangat berhubungan dengan Wacana karena Dalam mengkaji wacana, teori tentang pembentukan kalimat sangat dibutuhkan. Sebuah Wacana dapat dikatakan baik apabila hubungan antara kalimat-kalimatnya kohesi dan koheren.

4.      Analisis “Wacana” dengan “Semantik”
George dalam Tarigan (1964:1), secara singkat dan populer menjelaskan bahwa semantik adalah telaah mengenai makna. Hubungannya dengan Wacana adalah baik Semantik maupun Wacana sama-sama mengkaji makna bahasa sebagai objek kajiannya. Hanya saja perbedaannya adalah Semantik mengkaji makna leksikal bahasa (makna lingistik), sedangkan Wacana mengkaji makna kontekstual atau implikatur dari ujaran-ujaran atau teks-teks.

5.      Analisis “Wacana” dengan “Pragmatik”
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Hubungan antara “Pragmatik” dan “Wacana” adalah sama-sama mengkaji makna bahasa yang ditimbulkan oleh konteks.

6.      Analisi “Wacana” dengan “Filologi”
Filologi adalah bahasa, kebudayaan, dan sejarah bangsa yang terekam dalam bahan tertulis seperti peninggalan naskah kuno linguistik, sejarah dan kebudayaan.
Hubungan Wacana dengan Filologi adalah: Filologi dan wacana sama-sama mengkaji bahasa dalam bentuk teks atau naskah. Perbedaan keduanya terletak pada tema atau topik teks atau naskah tersebut. Filologi mengangkat topik yang khusus membahas tentang sejarah sedangkan Wacana mengangkat topik yang lebih umum dari segala aspek sosial kehidupan bermasyarakat.

7.      Analisis “Wacana” dengan “Semiotika”
Semiotika adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna bahasa yang ditimbulkan dari tanda-tanda bahasa. Hubungannya dengan wacana adalah, baik wacana maupun semiotika sama-sama mengkaji tentang makna bahasa. Hanya saja, semiotika mengkaji makna bahasa berdasarkan ikon, symbol ataupun indeks sedangkan wacana mengkaji makna tuturan maupun ujaran-ujaran yang dihasilkan oleh masyarakat tutur.
G. Penutup
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai hakikat wacana dan kedudukan wacana dalam linguistic kita dapat membedakan apa hakikat wacana, ciri wacana, fungsi wacana dan kedudukan wacana, sehingga tidak ada kesalahpahaman mengenai wacana dengan paragraph. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca dan dari penulis sendiri.

Sumber :
Chaer,Abdul.2007.linguistik umum. Jakarta :Rineka Cipta.
Syamsuddin A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis pengajaran. Bandung:FPBS IKIP Bandung.
Levinson, Stephen C. 1985. Pragmatics. Cambridge University Press.
Ramlan,M. 1996. Sintaksis-Cetakan ketujuh.Yogyakarta: CV.Karyono.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar