Selasa, 17 Januari 2017

KLASIFIKASI MORFEM



“KLASIFIKASI MORFEM”

1.      Klasifikasi Morfem

Abdul Chaer (2008:16) menjelaskan bahwa di dalam kajian ilmu morfologi, morfem dibedakan menjadi beberapa kriteria tertentu, seperti kriteria kebebasan, kebebasan keutuhan, kebebasan makna dan sebagainya. Pemaparan klasifikasi morfem menurut Abdul Chaer (2008:16) sebagai berikut :
a)  Morfem bebas dan morfem tak bebas (terikat)

          Morfem bebas dan morfem tak bebas atau terikat ini digolongkan berdasarkan kebebasannya yang keduanya dapat langsung digunakan di dalam pertuturan. Morfem bebas dalam Abdul Chaer (2008:17) adalah suatu morfem yang bebas atau tanpa memiliki keterkaitan atau hubungan dengan morfem lainnya, yang dapat langsung digunakan di dalam suatu pertuturan. Biasanya merupakan morfem dasar seperti morfem {pulang}, {merah} dan {pergi}. Hal ini sejalan dengan pendapat Santoso (2004), morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti tanpa harus dihubungkan dengan morfem lain. Contoh-contoh di atas dikatakan morfem karena merupakan bentuk terkecil yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Apabila bentuk itu kita pecah lagi, sehingga menjadi bu- ku, me- ja, pen- sil, ru- mah, dan seterusnya, maka bentuk bu- dan bentuk ku tidak mempunyai arti. Dengan demikian bentuk buku, meja, pensil dan rumah tidak dapat dipecah lagi. Bentuk yang demikian itilah yang disebut morfem bebas sehingga morfem-morfem itu dapat digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain. (Santoso, 2004; Chaer, 2012: 146-166).
Sedangkan morfem tak bebas atau yang biasa disebut dengan  morfem terikat menurut Abdul Chaer (2008:17) adalah suatu morfem yang harus terlebih dahulu bergabung atau terikat dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam pertuturan. Termasuk di dalamnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia. Di samping itu banyak juga morfem terikat yang berupa morfem dasar seperti morfem {henti}, {juang} dan {geletak}. Kemudian untuk dapat digunakan morfem-morfem tersebut haruslah terlbih dahulu diberi afiks atau digabung dengan morfem lainnya, contohnya pada morfem {juang} digabung dengan afiks menjadi berjuang, pejuang dan daya juang;henti harus digabung dengan afiks sehingga menjadi berhenti, perhentian dan menghentikan; serta geletak harus diberi imbuhan terlebih dahulu sehingga menjadi tergeletak dan menggeletak. Hal ini sejalah dengan pendapat Menurut Samsuri (1994), morfem terikat tidak pernah di dalam bahasa yang wajar diucapkan tersendiri. Morfem-morfem ini, selain contoh yang telah diuraikan pada bagian awal, umpanya: ter-, per-, -i, -an. Makna morfem terikat baru jelas setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran) tergolong sebagai morfem terikat. Selain itu, unsur-unsur kecil seperti partikel –ku, -lah, -kah, dan bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri, juga tergolong sebagai morfem terikat.
Kedua morfem di atas yaitu morfem bebas dan morfem terikat jika dibagankan akan menjadi


                            bebas                          dasar
Morfem              
                            terikat                         dasar   
                                                               afiks


Morfem terikat dalam bahasa Indonesia menurut Santoso (2004) ada dua macam, yakni morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis.
1)      Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar, adalah sebagai berikut :

a.       Prefiks atau Awalan         
Awalan (prefiks) adalah imbuhan yang dilekatkan di depan dasar (mungkin kata dasar, mungkin pula kata jadian) (Arifin dan Junaiyah, 2008: 6). Di dalam bahasa Indonesia terdapat awalan, yaitu ber, me, ter, se, di, per, pe, ke, dan lain-lain. Contoh :
bersegi, persegi, bertinj, petinju
menggali, penggali, meninju, petinju
dilipat, ditiru, dilihat, tertawa
sedesa, setempat
b.      Infiks atau Sisipan           
Sisipan adalah imbuhan yang dilekatkan di tengah dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:6). Bahasa Indonesia memiliki empat buah sisipan, yaitu -el, -em, -er, dan –in seperti
getar          geletar                   kelut          kemelut
getar          gemetar                 kerja          kinerja
gigi            gerigi
c.       Sufiks atau Akhiran
Akhiran adalah imbuhan yang dilekatkan pada akhir dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:6). Bahasa Indonesia memiliki akhiran - i, -an, -kan, -nya. Karena adanya kontak dengan bahasa-bahasa lain, kini bahasa Indonesia juga memiliki afiks-afiks yang berasal dari bahasa asing: -wan, -wati, -at, -isme, -(is)asi, -logi, dan –tas. Contoh :
ambil       
ambili, ambilkan, ambilan    
          
d.      Konfiks
Konfiks, lazim juga disebut imbuhan terbelah, adalah imbuhan yang dilekatkan sekaligus pada awal dan akhir dasar (Arifin dan Junaiyah, 2008:7). Konfiks harus diletakkan sekaligus pada dasar (harus mengapit dasar) karena konfiks merupakan imbuhan tunggal, yang tentu saja memiliki satu kesatuan bentuk dan satu kesatuan makna, seperti
¾    Konfiks ke-....-an pada keahlian, keutamaan, kegelisahan
¾    Konfiks pe-....-an, pada pengalaman, penataran penemuan
¾    Konfiks se-.....-nya pada seadanya, sebaiknya, sewajarnya
¾    Konfiks per-....-an pada perjuangan, pergaulan, pertemuan
¾    Konfiks per-....-kan pada pergolakkan, permalukan, permudahkan
¾    Konfiks diper-....-i pada diperbarui, diawali, dinaiki
¾    Konfiks ber-....-an pada berhamburan, berciuman, berpelukan.
¾    Morfem terikat apabila ditinjau dari asal usulnya, maka dapat dibedakan menjadi:
·         Morfem terikat asli bahasa Indonesia ; lihat contoh-contoh di atas.
·         Morfem terikat dari bahasa asing, misalnya ;
-   Bahasa Jawa                 : tuna, tata, daya, wawan, pramu, sarwa.
-   Bahasa Sansekerta        : pra, swa, maha, pri, wan, man, wati
-   Bahasa Barat                : is, istis, isme, isasi, if, or, om, us, re, de, di, en, ab, in, eks, mon.
-   Bahasa Arab                 : i, wi, ani, ni, iah, at, mun, mat.

2)      Morfem terikat sintaksis adalah morfem dasar yang tidak mampu berdiri sendiri sebagai kata. Perhatikan contoh berikut: Anak yang pintar dan sabar itu membaca buku. Dari deretan morfem yang menjadi unsur kata dalam kalimat di atas, jika diklasifikasikan berdasarkan morfemnya adalah:  anak, pintar, sabar, baca, buku, adalah morfem bebas.  Mem- adalah morfem terikat morfologis. Sedangkan morfem  yang, serta  morfem  dan  dalam kalimat di atas belum dapat berdiri sendiri sebagai kata karena tidak mengandung makna tersendiri. Gejala inilah yang tergolong morfem terikat sintaksis (Santoso, 2004).
Berkenaan dengan morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan menurut Abdul Chaer (2008:17) antara lain :
                           1            Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial.
                           2            Sehubungan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan sesudah mengalami proses morfologi.
                           3            Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.
                           4            Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari, pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
                           5            Klitikan merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya, apakah terikat atau bebas. Klitikan adalah bentuk-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil. Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.

b)      Morfem utuh dan morfem terbagi
                                       
     Morfem Utuh, yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan unsur-unsurnya bersambungan secara langsung. Dalam bukunya Abdul Chaer (2008:18) menyebutkan bahwa semua morfem dasar, baik bebas maupun terikat, serta prefiks, infiks dan sufiks termasuk morfem utuh. Misalnya, meja, tidur, pergi  dan sebagainya.

Morfem Terbagi, yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi. Atau dalam kata lain morfem yang fisiknya terbagi atau disisipi morfem lain. Misalnya, pada kata satuan (satu) merupakan morfem utuh dan (ke-/-an) adalah morfem terbagi. Semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terbagi.
Dalam bukunya Abdul Chaer (2008:19) menyebutkan bahwa sehubungan dengan morfem terbagi, untuk bahasa Indonesia ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu :
·         Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, {ber-/-an}, {per-/-an}, dan {pe-/-an} adalah termasuk morfem terbagi. Namun bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks pada bermunculan ’banyak yang tiba-tiba muncul’, dan bermusuhan ’saling memusuhi’, tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan ’mempunyai aturan’ dan berpakaian ’mengenakan pakaian’. Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya. 
·         Kedua, dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, infiks {-er-} pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pada kata gemetar. Memang dalam bahasa Indonesia infiks ini tidak produktif, tetapi dalam bahasa Sunda morfem infiks ini sangat produktif, artinya bisa dikenakan pada kata apa saja.
c)      Morfem Segmental dan Morfem Supra Segmental
Morfem segmental adalah morfem yang terjadi dari fonem atau susunan fonem segmental. Atau bisa juga disebut morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sebagai contoh, morfem {rumah}, dapat dianalisis ke dalam segmen-segmen yang berupa fonem [r,u,m,a,h]. Fonem-fonem itu tergolong ke dalam fonem segmental. oleh karena itu, morfem {rumah} tergolong ke dalam jenis morfem segmental.
Morfem supra segmental adalah morfem  yang terjadi dari fonem suprasegmental. Misal, jeda dalam bahasa Indonesia.Atau istilah lain morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmenntal seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara di benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan petunjuk kala (tense) yang berupa nada. Contoh:
1.      bapak wartawan               bapak//wartawan
2.      ibu guru                               ibu//guru
d)     Morfem Beralomorf Zero/Nol
            Dalam linguistik deskriptif, ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau nol (lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa ”kekosongan”. Morfem beralomorf zero merupakan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris dan tidak berlaku pada Bahasa Indonesia Contohnya adalah bentuk sheep, baik bentuk tunggal maupun jamak, kata Sheep akan tetap menjadi sheep dan tidak mengalami perubahan. Dalam bentuk tunggal dapat ditulis {sheep}, sedangkan dalam bentuk jamak menjadi ({sheep}+{Ø}).
-    Bentuk tunggal : I have a book ; I have a sheep
-    Bentuk jamak : I have two books ; I have two sheep
-    Kata kini : They call me; They hit me
-    Kata lampau : They called me ; They hit me
           
Bentuk tunggal untuk  book  adalah books  dan bentuk jamaknya adalah books; bentuk tunggal untuksheep adalah sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak untuk books terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan morfem {-s}, maka dipastikan bentuk jamak untuk sheep adalah morfem {sheep} dan morfem {Ø}. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa {Ø} merupakan salah satu alomorf dari morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.


e)      Morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikal
Morfem Bermakna Leksikal dalam Abdul Chaer (2008:20) yaitu morfem yang memiliki makna pada dirinya sendiri secara inheren, tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Morfem bermakna leksikal jumlahnya tidak terbatas dan sangat produktif. Misalnya, morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan sebagainya adalah morfem bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah dapat digunakan secara bebas dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam pertuturan. Atau bisa disebut juga satuan dasar bagi terbentuknya kata. morfem yang bermakna leksikal itu merupakan leksem, yakni bahan dasar yang setelah mengalami pengolahan gramatikal menjadi kata ke dalam subsistem gramatika. Contoh: morfem {sekolah}. berarti ‘tempat belajar’.
Abdul Caher (2008:20) Morfem Tak Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai makna apapun pada dirinya sendiri, sebelum bergabung dengan morfem lainnya dalam proses morfologis. Atau bisa juga disebut morfem imbuhan Misalnya, morfem-morfem afiks (ber-), (me-), (se-), (ter-), morfem-morfem tersebut baru bermakna jika berada dalam pemakaian. Contoh:. Contoh: {bersepatu} berarti ‘memakai sepatu’.

3.         Morfem Dasar, Dasar, Pangkal, dan Akar 
Dalam bukunya Abdul Chaer (2008:21) menjelaskan bahwa istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk-bentuk seperti {beli}, {juang} dan {kucing} merupakan morfem dasar. Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem bebas seperti {beli}, {kucing} dan {pulang}; tetapi ada juga yang termasuk ke dalam morfem terikat, seperti {juang}, {henti} dan {tempur}. Sedangkan morfem afiks seperti {ber-}, {di-} dan {an} jelas semuanya termsuk ke dalam morfem terikat. Jika dibagankan seperti berikut
                                                   bebas
dasar                terikat
Morfem              afiks (semuanya terikat)

Sebuah morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi.
            Istilah pangkal (stem) dalam Abdul Chaer (2008:22) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks infleksi. Hal ini biasanya terjadi pada bahasa-bahasa fleksi seperti bahasa arab, bahasa itali, bahasa jerman dan bahasa perancis. Kemudian dalam bahasa Indonesia sendiri proses pembentukan kata inflektif hanya terjadi pada proses pembentukan verba transitif, yang meliputi verba berprefiks me- (yang dapat diganti denan di-, prefiks ter- dan prefiks zero), contohnya pada kata membeli pangkalnya adalah beli.
Abdul Chaer (2008:16) menjelaskan bahwa istilah akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya bahwa akar adalah suatu bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya ditanggalkan. Misalnya pada kata memberlakukan setelah semua afiksnya ditanggallkan (yaitu prefiks me-, prefiks ber, dan sufiks –kan) dengan cara tertentu, maka yang tersisa akar laku. Akar laku ini tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi tanpa merusak makna akar tersebut.




1 komentar:

  1. Terima kasih banyak informasi, sangat membantu saya. www.tweetilmu.web.id

    BalasHapus